photo by: Google |
Sepi. Apa yang kurasa ketika melewati lorong tempatmu berbagi tawa. Seperti lengkap keheningan yang menyelimuti ronggaku ini.
Bagai ombak yang selalu merindukan pantai walau gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Seperti
semua rindu ada tempatnya. Yang bagiku, kini untukmu. Bahkan tak perlu
bersentuhan untuk kau buat hati ini terjatuh. Sunggingan manis di bibirmu akan
selalu menjadi idamanku.
Karena
biarpun gemuruh menderu, hati ini akan tetap berseru untuk semua tentangmu.
Biarlah angin berhembus, selamanya rasa ini tak akan pupus. Hadirmu telah
membuatku bertanya tentang kita. Apakah pertemuan ini hanya kebetulan
semata, ataukah permainan sang takdir. Atau hanyalah aku yang terbawa perasaan tak menentu ini.
Sang
sabitpun menginginkan matahari, namun ia tahu sebatas mana harus bermimpi.
Bahkan saat ku merindukanmu, seakan derai hujan dan gelapnya malam sudah
menjadi karibku. Namun, mungkin selamanya juga kau takkan pernah tau, bahwa
senyum itu telah mengusik kesendirianku.
Izinkan aku untuk selalu
menikmati manisnya dalam tenangku. Karena aku hanyalah serpihan harapan yang
kau hempaskan saat setara dengan tingginya bintang.
Tikam saja
aku dengan tawamu itu, setidaknya darah bisa memberi warna di lembaran kosong
ceritaku. Bunuh saja aku dengan tatapanmu itu, mungkin sakitnya dapat
mengalahkan rindu.
Namun, kumohon jangan kau biarkan aku mati, tenggelam
dalam air mataku sendiri. Karena
sejujurnya aku hanya merindukan sesuatu yang tak pernah aku miliki.
Seperti bayang
senyummu yang mulai memudar seiring langkahmu beranjak pergi. Walau aku sengaja
diam, meski selalu kamu yang berkecamuk di pikiranku ini. Walau kau anggap aku ini
bisu, namun pandangan ini tak pernah lepas dari bayangmu.
Namun,
sudikah engkau menulis kisah ini bersamaku?
Karena seperti yang semua tahu,
kamu adalah apa yang selalu ingin aku tulis dalam ceritaku. Sedangkan aku?
Hanyalah segala yang tak pernah engkau baca. Seperti jarum jam yang merindukan
dentingan detik, meski hanya sesaat pasti kujanjikan segala yang berarti. Bahkan bila
mencintaimu adalah suatu kesalahan, izinkan itu menjadi kesalahan terindahku.
Karena
sesungguhnya aku tak pernah mengharapkan penantian yang lain. Seperti senja
yang turun ketika kita bertemu di ujung jalan, sesaat senyummu mengakhiri
seluruh perih. Gelak tawa itu mampu menghapus awan yang menutupi
cerahnya hariku.
Namun, maukah kau menyertai kebahagiaan itu?
Karena bersamamu
adalah hal yang selalu kudamba. Tak peduli
hari ini, esok ataupun nanti, selamanyapun rasa ini akan tetap dan selalu ada,
walau kamu selalu tak pernah menganggapku ada.
Rembulan bersembunyi dibalik
gelapnya langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Aku selalu
berharap waktu tetap berjalan tanpa harus memaksaku untuk membunuh perasaan ini.
Karena nyatanya aku ini hanyalah daun yang ingin terus kuat melekat pada
pohon, yang pada akhirnya takdirku ada pada musim gugur.
Karena
sesungguhnya tak pantas ku menyalahkan pertemuan itu atau berlari dari senyuman
sinis sang takdir. Tak ada yang salah atas suatu perasaan, hanya saja mungkin
sang waktu belum berpihak pada kita. Tapi, mengapa kita berada pada satu ruang
yang sama bila nantinya tak saling terikat cinta.
Lalu apa
gunanya sesumbar melawan dunia jika nyatanya berseru tentang hal yang berbeda?
Mungkin
memang harus ada yang terluka untuk terlepas dari sesuatu yang bahkan belum terikat.
Resah hati ini ingin berteriak, namun apa daya mulutku hanya mampu terisak.
Bahkan langit hanyalah menunggu matiku, terhimpit oleh mimpi yang membunuh. Tercekik
oleh rindu yang berujung sendu. Karena ternyata sang takdir menyadarkan kita untuk
melangkah menuju bintang yang berbeda. Ibarat aksara yang
bersembunyi dalam lubang harapan, ini hanyalah menunggu untuk diucapkan atau hanya
mengendap sebatas asa.
Beritahu aku
bila suatu nanti kamu membutuhkan payung ditengah derasnya hujan.
Karena seberapa
jauhnya engkau pergi, bintang takkan pernah meninggalkan langit. Karena
seberapa acuhnya kau kepadaku, daun akan selamanya jatuh ke tanah. Karena
seberapa besarnya rinduku padamu, mentari takkan pernah bersatu dengan bulan.
Tak apa
untukku yang kini hanya ingin tumbuh menjadi doa, yang selalu mengiringi tiap
langkahmu.
Namun saat jejakmu terhapus oleh dinginnya embun pagi, beri tahu
anak-anakmu bahwa pernah ada seseorang yang berharap untuk menikmati segelas
teh hangat bersamamu, yang selalu merindukan kehadiran mereka untuk melengkapi
bahagianya rumah kita.
Namun lagi-lagi, setidaknya kau pernah mengingatku
sebagai hati yang pernah diam-diam mencintai.
Terima kasih
sudah menjadi debar ketika jantung ini lupa berdetak. Biar burung-burung yang
tahu bagaimana sunyinya ronggaku ditinggal tawamu. Biar lembaran kertas menjadi saksi bisu perasaan tak terbalas. Biarkan rindu ini kutitip
pada mawar-mawar sendu. Biar suatu saat nanti waktu berputar menilik rindu,
termenung menyiasati cinta dalam sajak tentangmu.