photo by: Pinterest |
Tiba-tiba ada lagi. Rasa itu, kembali lagi.
Tiba-tiba engkau ada. Kemudian, engkau hadir.
Seperti sudah lama tak melihatnya. Namun, sebenarnya belum genap dua belas bulan kita tak jumpa. Senyummu, matamu, tawamu, semuanya masih sama. Kecuali hatimu, tak lagi sama. Bukan lagi untukku.
Lagi-lagi seringkali ku ucap, bahkan untuk tahu kabarmu baik saja sudah lebih dari cukup untukku. Seperti rasanya ingin kubertanya padamu, duhai pemberi harapan. Sudah berapa banyak hati yang berhasil kamu singgahi lagi? Tapi padahal aku juga tahu jawabannya, banyak. Jujur, masih ada samar-samar perih ini melihat kau dekat dengan mereka yang-ku-kenal. Namun, apa dayaku yang bahkan tak lagi terlihat.
Entah, satu yang tak pernah berubah dariku. Aku selalu tersenyum melihat namamu. Sedihnya, senyummu hadir ketika melihat namanya. Perih. Kamu akan selamanya menjadi "dia" untukku. Karena tak ada lagi aku dan kamu, bukan?
Hari demi hari kujumpa dirinya. Kulihat dia tersenyum beberapa saat.
Ladang mata ini malu untuk memandang wajahnya, tapi hati ini takkan mampu berdusta. Perasaan yang terus tumbuh ini memang untuk dirinya seorang. Namun, entah mengapa hati ini yang selalu jujur. Hanya bibir ini yang selalu sulit
untuk mengungkapkan isi hati. Maafkan aku yang tak tahu caranya mencintaimu,
entah sampai kapan.
Bukan aku
tak mau menyatakan apa yang kurasa, tapi aku takut. Takut akan jawaban darimu
yang mungkin tidak seperti apa yang kuharapkan. Aku takut jika kita menjadi
jauh karena ego dalam hatiku. Walau kini kita, maksudku aku-kamu tak lagi seakrab dulu, aku tak ingin memperparah keadaan ini.
Namun, seiring
dengan langkah ini dan atas segala hal yang terjadi, perlahan kita sadar bahwa
terkadang waktu mengikis seseorang menjadi sesuatu yang lain. Aku berharap, dunia ada tanpa waktu yang memaksaku untuk berhenti mencintaimu atau menyeretku untuk melupakanmu.
Karena saat bersamamu, aku seperti layang-layang. Digenggamanmu, aku dapat terbang kemanapun kau ingin melihatku. Awalnya, aku tetap berada diatas, tak peduli seberapa kencang angin menyapaku. Aku melayang dan tersenyum melihat kearah bawah. Aku tak pernah takut untuk terbang sepuasku. Karena aku tahu, ketikapun aku jatuh kelak, ada kamu yang menangkapku.
Tapi, semakin lama mengenalmu bukan layang-layang tinggi lagi aku terlihatnya. Aku menjadi layang-layang yang entah tak berarah tujuanku. Kamu, sang pemegang kendali selalu menarik-ulur tali yang menjeratku. Yang pada akhirnya, aku lelah lalu terbang tak berarah. Taliku terlepas terhempas badai. Lalu, tak selang berapa lama aku terjatuh karena sayapku robek terkena hempasan angin yang tak lagi sanggup aku terjang.
Tak teraba, malam semakin larut dan semua angan tentangmu semakin berkecamuk. Indah. Kata Indah
dapat terdefinisi dengan jelas, namun sekarang mungkin tidak denganmu
didalamnya. Indah akan
nyata bila kau hadir dalam hidupku, hari-hariku, juga perjalanan hidup yang
kujalani. Meski mungkin itu terdengar tak mungkin.
Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya, tapi kita mungkin punya kesempatan
untuk berbagi kisah walau hanya sekejap. Terima kasih atas segelintir tawa dan air mata yang telah tertulis dalam sebaris kisah hidup kita.
Bukannya aku ingin menyalahkan takdir, atau mengulang lagi waktu, karena ku tahu selamanya ku takkan pernah mampu. Tapi satu, aku rindu. Maafkan aku bila diam-diam sering mencuri temu untuk melihat senyummu. Aku sepenuhnya sadar, tak ada yang mampu dan seharusnya kulakukan kecuali mendoakan selalu dirimu dalam kalbu.
Sebab, kata ibuku Cinta yang dibungkus dengan kepedulian tak pernah punya cukup alasan untuk mengemis segenap balasan. Ia mendoakan. Kini cukuplah hanya dengan doa menguatkan daku. Karena, jikapun kau tak lagi mendengar suaraku dari ujung telpon genggammu, bukan berarti aku tak mengucapmu dalam doaku. Karena kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Karena setidaknya aku tahu, walau aku tak lagi denganmu-ataupun sebaliknya, ada yang selalu menjaga kita. Semoga dan selalu.
No comments:
Post a Comment