photo by: Tumblr |
Sinarnya menusuki rapuhnya kulitku. Mentari
meninggi menegaskan keagungannya. Mengeringkan sisa-sisa luka yang tertinggal
oleh sang cinta.
Laksana tupai lincah melompat,
sepandainya ia akan jatuh juga. Bila saja badai ini tak menerpa, mungkin ku
lukiskan seribu warna pelangimu. Rembulanpun merindukan pasangannya, namun
terlanjur si bintang jatuh ke pelukan malam.
Andaikan lili itu tak bersemi,
mungkin dapat kuarungi birunya samudra. Layaknya lagu iringi sayap-sayap duka,
seperti ego ingin rasa lumpuhkan logika. Apa dayaku, kau telah bersamanya.
Bagai tebing acuh berdiri dengan
kesombongannya, perlahan terkikis oleh sapaan ombak. Seperti semua mengalir
tanpa perlu hati mengizin. Layaknya daun yang tak butuh angin untuk membuat embun
jatuh cinta. Rasa ini tumbuh tanpa peduli sekaratnya si penderita.
Namun, maukah engkau menemaniku ?
Duhai kemilau yang menerangi gulita,
kejorapun berbincang dalam heningnya malam. Seperti ingin kubisikkan pada bunga
bahwa aku rindu segala tentangmu. Meski tak pernah tercipta kata kita karena
kau dengan si dia.
Haruskah aku memohon pada bintang
jatuh ataukah mengemis pada sang takdir ?
Mengapa ada pertemuan jika hanya
menyisakan kegalauan. Bahkan tak pernah sedetikpun terlintas untuk memisahkanmu
dari dirinya. Meski aku menangis dalam senyum kemesraan kalian. Tak lagi
kemunafikan ini bergelora, aku ingin menjadi dirinya. Lalu sesaat sakit ini
mencabikku hingga koma. Melawan cinta yang ada di hati.
Cemburu aku melihat burung-burung
berkicau. Seperti menertawakan kisah yang tak berbalas. Terlintas wajahmu
sesekali musnahkan upaya ku tahu diri. Seperti ingin aku dirindukan, namun
siapalah aku. Bertepuk sebelah tangan seperti dongeng masa kini tak pernah
ingin ku bermain. Meski belum tersirat kata rela, namun aku cukup lega. Lalu aku
segan mengerti, meski tak pernah dimengerti.
Namun, apa salahku ?
Sapaan di lelahnya hari membawaku
kedalam jurang itu. Sesalkah yang membawamu kembali, ataukah hanya bosan menanti? Tak pernah pula berniat saling bertukar rasa.
Dan aku tergoda oleh cintanya.
Bahkan hati tak mampu memilih. Entah
amnesia aku dibuatmu, tapi enggan dibutakan. Seperti hujan yang tak lelah walau
beribu kali terjatuh. Pasti kan ku temui muara bahagia itu, meski dengan atau
tanpamu.
Akankah
kau terus ada disisiku ketika kelabu menghampiri ?
Akankah
kau terus berpijar ketika redupnya cahaya menghampar?
Walau nasihat silih berganti tak
kuasaku menolakmu. Mulutku membisu, sibuk melawan batin. Dan memang mata yang
tak pernah berdusta. Memang hati tahu siapa yang ia inginkan, meski mereka
berkata jangan.
Pecahkan saja gelasnya, mungkin
gaduhnya dapat menyembuhkanku.
Nyalakan saja apinya, setidaknya asap dapat
menyembunyikanku.
Katanya, Hati ada untuk saling memiki atau merelakan untuk
pergi.
Cinta
ini ada, meski hanya bertukar pandangan.
Rindu
ini ada, meski jemari kita belum saling bersentuhan.
Mungkin kamu benar, namun apa
peduliku. Biar kau larang kubisikkan bisik-bisik rindu. Salahmu ajariku
bagaimana jatuh cinta lagi. Namun sialku lupa cara meninggalkanmu.
Cinta
ini ada, meski relung kosong jemarimu dipenuhi oleh dirinya.
Tak rela aku menyeretmu hadir.
Karena percuma semua
kesempurnaan itu. Sebatas tabu belaka. Sempurna tetapi hanya iba akan paksaan
egoku padamu. Meski melewatkanmu selalu terhenti
dibatas senyum itu.
Namun, adakah cinta yang salah ?
Denting – denting menyelamatkanku
dari lamunan panjang perjuangan cinta kita, yang terlanjur kau bersamanya. Hinakah aku yang hanya ingin sebuah
balas? Hingga ku tak pantas dapatkan kesungguhanmu?
Namun, sudah kau pergilah
Sebab, adakah kesempatan untuk
diriku menyatakan? Karena ada berjuta alasan mengapa aku harus menyerah. Entah
mungkin harus selamanya terpendam.
Kita
mungkin tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya, namun punya kesempatan untuk
berbagi kisah walau hanya sekejap.
Menghilang sajalah lagi. Padamkan
segala yang hadir tanpa permisi.
Teruntuk dinginnya udara pagi, salam
hangat untuk cintaku. Biar kelak kudengar cerita tentangmu yang berlutut
dihadapan seorang perempuan. Walau entah mengikatkan sepatu anak kita atau
anakmu saja.
Dan
demi kebahagiaan yang kita idamkan, teruslah terjaga agar tidak keluar dari apa
yang kita impikan. Tersenyumlah duhai engkau yang dulu
pernah kucinta. Senyum yang terlampau indah untuk mengobati hati yang resah.
Seperti
matahari yang selalu terbenam, mau tak mau cinta ini harus perlahan tenggelam. Seperti
hujan yang tak mampu menengok indah pelangi, begitulah kita saat ini. Mungkin
bukan kamu orangnya, atau memang belum sekarang waktunya.
Melihat
orang yang kucinta berbahagia, dan saat itu aku tahu segalanya akan sempurna.
Maaf atas secarik cinta, dariku yang kandas dan patah hati.
No comments:
Post a Comment