Photo by: Google |
Gelapnya
malam gantikan birunya sang langit, namun masih terlihat gemerlapnya gemintang
di sudut awan itu. Tak habis rasanya ribuan kata untuk senyummu itu, duhai si
pencipta rindu. Ratusan hari sudah tak jumpa, namun tak sedetikpun terlupa.
Meski ribuan jam ku terlarut dalam kesibukkan demi tak lagi ingat kamu,
sekejap kau datang lagi mengusik tenangnya sepiku.
Apakah gelap
ini tak nyata, atau hanya aku yang tak terbiasa tanpa cahaya ?
Mungkin
memang ada yang harus terluka untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak
mengikat. Seakan mulutku terbungkam mendengar gelak tawamu lagi, matakupun
bersinar dengan senyum nan menawan itu, dan hatiku terjatuh lagi dalam
lembutnya tutur katamu. Ya, kau memang terlihat asing di mataku, tetapi tidak
untuk hatiku.
Tapi,
mengapa bulan dan bintang selalu bersama sedangkan kau tak pernah hadir dalam
setiap gelapku?
Ingin rasa berteriak, mengungkap semua rindu yang selama ini menunggu. Tak sabar rasaku
bercerita betapa bahagianya aku melihat kamu lagi, wahai sang penakluk hati.
Katakan
kemana aku harus menemui Tuhanmu, agar Ia tahu cinta kita harus bersatu.
Dan semenjak
rasa itu ada, semuanya tak lagi sama. Jangan salahkan aku berharap menjadi
objek favoritmu, pangeranku. Meski ada hasrat ingin menyapamu, namun aku hanya
mampu menyimpan kata. Meski rindu sekali hati ini mendengarmu bercerita, namun
aku sadar sebatas mana harus meminta. Dan aku hanyalah bentuk kesepian yang
engkau ciptakan.
Sehening
apapun aku dilihatmu, selalu ada saja suara. Ialah detak rindu yang selalu
setia menunggu.
Walau berat
untukku bersembunyi, meski dari cinta yang kau tumbuhkan sendiri benihnya.
Sekarat aku dalam sakit yang kau berikan. Dan aku berharap kita menjadi
pasangan, bukan lagi sebatas teman atau kawan.
Seperti
ceritaku menjadi nyata dalam satu malam
Bila saja kau
tahu seberapa besar rindu ini mengurungku dalam kesedihan yang panjang. Bahkan
aku tak dapat lagi membedakan air mata ini, karena bahagia dengan perjumpaan
kita ataukah sedih karena kamu masih menjadi rahasiaku.
Jika hujan
rela selamanya terjatuh ke bumi, mengapa tak kau sisakan satu cinta untukku?
Karena tak ada lagi yang dapat membuatku hidup dalam semua khayal tentangmu.
Atau mungkin bidadari tak layak hidup di air keruh?
Sesalku
menghimpit, sesaknya mencekik.
Relakan aku
terbaring hingga terbujur kaku, sebagaimana kubiarkan kau bersamanya. Biarkan
kuhitung sisa nafas ini hingga habis sudah rindu ini termakan usia. Tinggalkan
aku dengan semua kenanganmu itu.
Lantas,
mengapa kau ajariku apa itu cinta bila tak dapat kau sisakan setitik saja
untukku?
Lalu mengapa
kau lihatkan bagaimana tertawa dan merasakan bahagia, bila kau masih memilihnya
?
Jangan
pernah mencinta jika tak mampu menjaganya. Karena akan tiba masanya disaat aku
tak sanggup lagi berpura-pura seakan semua baik saja. Karena sungguh tak mudah
bagiku untuk melepaskan, hanya saja kamu terlalu sakit untuk digenggam.
Relakan aku
menikmati senyum hangatmu itu, pangeranku. Walau sepenuhnya sadar, itu sudah
menjadi milik wanita lain. Biarkan rindu yang mengisahkan kepadamu tentang
suaramu yang membuatku tenang dalam gelisahku. Memang mungin tak seharusnya
cinta ini berbunyi, karena esok ia dapat menjadi sunyi. Dan aku hanya akan
ditertawakan oleh cermin yang menunjukkan rasa takutku.
Maafkan aku
yang diam-diam berharap menjadi permaisurimu, pangeranku
Karena sesungguhnya aku bukan senja yang dapat merelakan matahari, atau melepaskanmu pergi. Cinta ini telah memaksaku membenci hujan, karena di setiap rintiknya terselip namamu, nama yang selalu nyaris terucap dalam setiap nafas.
Sampai kapan
kesadaran ini harus ku bohongi?
Bahkan tak
apa untukku mendengar ceritamu tentang dirinya, karena langitpun kadang melepas
beban maka menangislah jangan enggan.
Kadang kau
terlihat sekilas saja, tapi bisakah aku membuatmu singgah sedikit lebih lama?
Karena
sejauh apapun kamu pergi, masih tersisa setetes cinta yang ku sisihkan untuk
kepulanganmu.
Raih tanganku dan lupakanlah nama itu, melangkahlah bersamaku.
Raih tanganku dan lupakanlah nama itu, melangkahlah bersamaku.
Namun bila
memang mengenalmu adalah sebuah kesalahan, sungguh aku tak butuh pembenaran.
Bodohku baru tersadar, bahwa yang selama ini aku cari telah ada di sudut mataku. Hingga tak pernah ku sangka, pertemuan singkat kita berujung pada dilema. Karena jangankan yang berdetik, yang berdetakpun rela kuhabiskan denganmu.
Mengapa
sulit untukku melepas namamu dari lantunan doaku?
Biarkan aku
ceritakan indahmu pada tiap kesunyian. Karena melupakanmu masih menjadi
kebohongan yang aku rencanakan.
Karena
kesabaran dan lembutmu selalu mampu luluhkan kerasnya kepalaku.
Karena gelak
tawa dan senyummu selalu berhasil hangatkan dinginnya hatiku.
Bukan malam
yang tak setia, bukan pula pagi yang meminta. Memang takdir yang memaksa. Lalu
jika suatu saat kau pergi meninggalkanku, maka bawalah doaku bersamamu. Karena
setidaknya kita masih terikat lewat Tuhan yang mempertemukan kita.
No comments:
Post a Comment