Monday, April 6, 2015

Selintas Cinta

Photo by: Google

Gelapnya malam gantikan birunya sang langit, namun masih terlihat gemerlapnya gemintang di sudut awan itu. Tak habis rasanya ribuan kata untuk senyummu itu, duhai si pencipta rindu. Ratusan hari sudah tak jumpa, namun tak sedetikpun terlupa. Meski ribuan jam ku terlarut dalam kesibukkan demi tak lagi ingat kamu, sekejap kau datang lagi mengusik tenangnya sepiku.

Apakah gelap ini tak nyata, atau hanya aku yang tak terbiasa tanpa cahaya ?

Mungkin memang ada yang harus terluka untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak mengikat. Seakan mulutku terbungkam mendengar gelak tawamu lagi, matakupun bersinar dengan senyum nan menawan itu, dan hatiku terjatuh lagi dalam lembutnya tutur katamu. Ya, kau memang terlihat asing di mataku, tetapi tidak untuk hatiku.

Tapi, mengapa bulan dan bintang selalu bersama sedangkan kau tak pernah hadir dalam setiap gelapku?  

Ingin rasa berteriak, mengungkap semua rindu yang selama ini menunggu. Tak sabar rasaku bercerita betapa bahagianya aku melihat kamu lagi, wahai sang penakluk hati.

Katakan kemana aku harus menemui Tuhanmu, agar Ia tahu cinta kita harus bersatu.

Dan semenjak rasa itu ada, semuanya tak lagi sama. Jangan salahkan aku berharap menjadi objek favoritmu, pangeranku. Meski ada hasrat ingin menyapamu, namun aku hanya mampu menyimpan kata. Meski rindu sekali hati ini mendengarmu bercerita, namun aku sadar sebatas mana harus meminta. Dan aku hanyalah bentuk kesepian yang engkau ciptakan.

Sehening apapun aku dilihatmu, selalu ada saja suara. Ialah detak rindu yang selalu setia menunggu.

Walau berat untukku bersembunyi, meski dari cinta yang kau tumbuhkan sendiri benihnya. Sekarat aku dalam sakit yang kau berikan. Dan aku berharap kita menjadi pasangan, bukan lagi sebatas teman atau kawan.

Seperti ceritaku menjadi nyata dalam satu malam

Bila saja kau tahu seberapa besar rindu ini mengurungku dalam kesedihan yang panjang. Bahkan aku tak dapat lagi membedakan air mata ini, karena bahagia dengan perjumpaan kita ataukah sedih karena kamu masih menjadi rahasiaku.

Jika hujan rela selamanya terjatuh ke bumi, mengapa tak kau sisakan satu cinta untukku? Karena tak ada lagi yang dapat membuatku hidup dalam semua khayal tentangmu. Atau mungkin bidadari tak layak hidup di air keruh?

Sesalku menghimpit, sesaknya mencekik.

Relakan aku terbaring hingga terbujur kaku, sebagaimana kubiarkan kau bersamanya. Biarkan kuhitung sisa nafas ini hingga habis sudah rindu ini termakan usia. Tinggalkan aku dengan semua kenanganmu itu.

Lantas, mengapa kau ajariku apa itu cinta bila tak dapat kau sisakan setitik saja untukku?

Lalu mengapa kau lihatkan bagaimana tertawa dan merasakan bahagia, bila kau masih memilihnya ?

Jangan pernah mencinta jika tak mampu menjaganya. Karena akan tiba masanya disaat aku tak sanggup lagi berpura-pura seakan semua baik saja. Karena sungguh tak mudah bagiku untuk melepaskan, hanya saja kamu terlalu sakit untuk digenggam.

Relakan aku menikmati senyum hangatmu itu, pangeranku. Walau sepenuhnya sadar, itu sudah menjadi milik wanita lain. Biarkan rindu yang mengisahkan kepadamu tentang suaramu yang membuatku tenang dalam gelisahku. Memang mungin tak seharusnya cinta ini berbunyi, karena esok ia dapat menjadi sunyi. Dan aku hanya akan ditertawakan oleh cermin yang menunjukkan rasa takutku.

Maafkan aku yang diam-diam berharap menjadi permaisurimu, pangeranku

Karena sesungguhnya aku bukan senja yang dapat merelakan matahari, atau melepaskanmu pergi. Cinta ini telah memaksaku membenci hujan, karena di setiap rintiknya terselip namamu, nama yang selalu nyaris terucap dalam setiap nafas.

Sampai kapan kesadaran ini harus ku bohongi?

Bahkan tak apa untukku mendengar ceritamu tentang dirinya, karena langitpun kadang melepas beban maka menangislah jangan enggan.

Kadang kau terlihat sekilas saja, tapi bisakah aku membuatmu singgah sedikit lebih lama?
Karena sejauh apapun kamu pergi, masih tersisa setetes cinta yang ku sisihkan untuk kepulanganmu. 

Raih tanganku dan lupakanlah nama itu, melangkahlah bersamaku.

Namun bila memang mengenalmu adalah sebuah kesalahan, sungguh aku tak butuh pembenaran.

Bodohku baru tersadar, bahwa yang selama ini aku cari telah ada di sudut mataku. Hingga tak pernah ku sangka, pertemuan singkat kita berujung pada dilema. Karena jangankan yang berdetik, yang berdetakpun rela kuhabiskan denganmu.

Mengapa sulit untukku melepas namamu dari lantunan doaku?

Biarkan aku ceritakan indahmu pada tiap kesunyian. Karena melupakanmu masih menjadi kebohongan yang aku rencanakan.

Karena kesabaran dan lembutmu selalu mampu luluhkan kerasnya kepalaku.
Karena gelak tawa dan senyummu selalu berhasil hangatkan dinginnya hatiku.



Bukan malam yang tak setia, bukan pula pagi yang meminta. Memang takdir yang memaksa. Lalu jika suatu saat kau pergi meninggalkanku, maka bawalah doaku bersamamu. Karena setidaknya kita masih terikat lewat Tuhan yang mempertemukan kita.

No comments: