Friday, April 10, 2015

Menilik Rindu

Photo by: Google

Mentari usai bersinar namun senja belum menampakkan kilaunya. Ternyata abu yang menutupi birunya sang langit. Mendungnya sama, seperti hariku. Perlahan rintik hujan turun membasahi keringnya dedaunan, sekejap membawa memoriku kembali melayang.

Lalu, haruskah aku menari disela ramainya hujan atau terdiam memandanginya ?

Ternyata memang lelah mengharapkan sesuatu yang hampir mustahil. Lagi-lagi aku yang disalahkan, padahal semuanya nyaris sirna. Jangan tanyakan aku tentang cinta, jelas lupa bagaimana rasanya. Tak perlu juga ku perjelas, apa juga pedulimu.

Duhai sang pemilik cinta dan semesta, malangnya diri mencintainya yang sibuk mencintai si dia. Mengapa aku bahkan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin kudapat.

Mana mungkin kau minta sebait puisi dariku, sedangkan kisah ini hanyalah segala tentangmu. Jangankan hanya sebaris kata, seribu halamanpun kan kuciptakan untuk kita.

Namun sayang, aku bukanlah pujangga yang mampu merangkai untaian kata manis. Namun sayang, aku bukanlah penulis yang mampu ciptakan ratusan kisah bahagia dalam semalam. Aku hanyalah perempuan dengan berjuta cerita yang menunggumu untuk melengkapinya, bersamaku.

Mengapa lagi-lagi aku terjatuh kepada hati yang salah ?

Bahkan rembulan pun tak berizinkan menengok si bintang. Bila saja hati ini tak memilihmu, mungkin mudah untukku mengobati luka yang terlanjur mendalam.

Mengapa harus kau biarkan aku tahu kau mencintainya?

Meski aku hanyalah selalu yang kedua. Aku, kamu dan logika kita mungkin memang berbeda.

Aku benci caramu memanggil namaku, wanita mana yang mampu mengacuhkan suara itu. Aku benci caramu bercerita, wanita mana yang tak ingin selalu mendengar. Aku benci caramu menatapku, wanita mana yang tak tersipu. Aku benci caramu tersenyum, bahkan mentaripun cemburu dengan hangatnya senyummu.  Aku benci caramu membuatku tertawa, selalu membuatku rindu.

Hanya satu tanyaku, sampai kapan harus kurajut cerita ini sendirian ?

Enggankah kau menorehkan sedikit pena di lembaran kisahku? Karena suatu saat nanti akan tiba masanya ketika aku lelah menulis kisah ini sendirian.

Bila saja kamu belum bersamanya. Ah, namun belum tentu juga kau akan memilihku. Ingin kubunuh pacarmu saat dia peluk tubuh indahmu didepan mataku. Aku cemburu. Karena setiap tawa yang kuhabiskan bersamamu nantinya akan berujung sendu

Dan sang takdir pun tersenyum sinis melihat hatiku habis teriris.

Duhai cinta, mengapa lagi-lagi aku yang tersakiti?

Kemarilah dan raih tanganku, kan kujanjikan kau bahagia yang telah hilang dari dirinya. Kabari aku bila esok kau tak bersamanya. Kirimi aku surat dan ceritakan keluh kesahmu, maka akan ku lukiskan sepinya harimu dengan warnaku. Melangkahlah bersamaku

Tak sudikah engkau singgah dibenakku sejenak?

Duhai kasih, maaf bila ku telah jatuh cinta.

Lalu, siapa yang rela dimadu. Memang semua kisah harus berakhir, entah bahagia atau tak sempurna.

Duhai kasih, lalu kapan giliranku membahagiakanmu? 
Relakan aku atau tinggalkan dia.

Apakah waktu mampu menghapus serpihan-serpihan rindu ?

Karena aku bukanlah Tuhan, yang selalu mampu memaafkan. Karena aku bukanlah malaikat, yang selalu bersabar. Karena aku bukanlah mentari, yang tak lelah menunggu sang bulan setiap hari. Karena aku bukanlah hujan, yang tetap setia walau berkali-kali terjatuh

Seperti dedaunan yang terbang tertiup angin, seperti itulah serpihan hati ini kau tinggalkan. 

Lalu, suatu hari nanti ingatkan padaku tentang rasanya mendapatkan cinta yang selama ini kau idamkan. Karena bila saja kau tahu bagaimana bintang tak lelah bersinar meski sering ditutupi awan, begitulah ku mencintaimu.


No comments: