Photo by: Google |
Mentari usai
bersinar namun senja belum menampakkan kilaunya. Ternyata abu yang menutupi
birunya sang langit. Mendungnya sama, seperti hariku. Perlahan rintik hujan
turun membasahi keringnya dedaunan, sekejap membawa memoriku kembali melayang.
Lalu, haruskah
aku menari disela ramainya hujan atau terdiam memandanginya ?
Ternyata
memang lelah mengharapkan sesuatu yang hampir mustahil. Lagi-lagi aku yang disalahkan,
padahal semuanya nyaris sirna. Jangan tanyakan aku tentang cinta, jelas lupa
bagaimana rasanya. Tak perlu juga ku perjelas, apa juga pedulimu.
Duhai sang
pemilik cinta dan semesta, malangnya diri mencintainya yang sibuk mencintai si
dia. Mengapa aku bahkan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin kudapat.
Mana mungkin
kau minta sebait puisi dariku, sedangkan kisah ini hanyalah segala tentangmu.
Jangankan hanya sebaris kata, seribu halamanpun kan kuciptakan untuk kita.
Namun
sayang, aku bukanlah pujangga yang mampu merangkai untaian kata manis. Namun
sayang, aku bukanlah penulis yang mampu ciptakan ratusan kisah bahagia dalam semalam.
Aku hanyalah perempuan dengan berjuta cerita yang menunggumu untuk
melengkapinya, bersamaku.
Mengapa
lagi-lagi aku terjatuh kepada hati yang salah ?
Bahkan
rembulan pun tak berizinkan menengok si bintang. Bila saja hati ini tak
memilihmu, mungkin mudah untukku mengobati luka yang terlanjur mendalam.
Mengapa
harus kau biarkan aku tahu kau mencintainya?
Meski aku
hanyalah selalu yang kedua. Aku, kamu dan logika kita mungkin memang berbeda.
Aku benci
caramu memanggil namaku, wanita mana yang mampu mengacuhkan suara itu. Aku benci caramu bercerita, wanita mana yang tak ingin selalu mendengar. Aku
benci caramu menatapku, wanita mana yang tak tersipu. Aku benci caramu tersenyum, bahkan mentaripun cemburu dengan hangatnya senyummu. Aku benci caramu
membuatku tertawa, selalu membuatku rindu.
Hanya satu
tanyaku, sampai kapan harus kurajut cerita ini sendirian ?
Enggankah
kau menorehkan sedikit pena di lembaran kisahku? Karena suatu saat nanti akan
tiba masanya ketika aku lelah menulis kisah ini sendirian.
Bila saja
kamu belum bersamanya. Ah, namun belum tentu juga kau akan memilihku. Ingin
kubunuh pacarmu saat dia peluk tubuh indahmu didepan mataku. Aku cemburu.
Karena setiap tawa yang kuhabiskan bersamamu nantinya akan berujung sendu
Dan sang
takdir pun tersenyum sinis melihat hatiku habis teriris.
Duhai cinta,
mengapa lagi-lagi aku yang tersakiti?
Kemarilah dan raih tanganku, kan kujanjikan kau bahagia yang telah hilang dari dirinya. Kabari aku bila esok kau tak bersamanya. Kirimi aku surat dan ceritakan keluh kesahmu, maka akan ku lukiskan sepinya harimu dengan warnaku. Melangkahlah bersamaku
Tak sudikah
engkau singgah dibenakku sejenak?
Duhai kasih,
maaf bila ku telah jatuh cinta.
Lalu, siapa yang rela dimadu. Memang semua kisah harus berakhir, entah bahagia atau
tak sempurna.
Duhai kasih,
lalu kapan giliranku membahagiakanmu?
Relakan aku atau tinggalkan dia.
Relakan aku atau tinggalkan dia.
Apakah waktu mampu menghapus serpihan-serpihan rindu ?
Karena aku
bukanlah Tuhan, yang selalu mampu memaafkan. Karena aku bukanlah malaikat, yang
selalu bersabar. Karena aku bukanlah mentari, yang tak lelah menunggu sang bulan
setiap hari. Karena aku bukanlah hujan, yang tetap setia walau berkali-kali
terjatuh
Seperti
dedaunan yang terbang tertiup angin, seperti itulah serpihan hati ini kau
tinggalkan.
Lalu, suatu hari nanti ingatkan padaku tentang rasanya mendapatkan
cinta yang selama ini kau idamkan. Karena bila saja kau tahu bagaimana bintang
tak lelah bersinar meski sering ditutupi awan, begitulah ku mencintaimu.
No comments:
Post a Comment