Monday, March 9, 2015

Sebait Pinta

photo by: Tumblr

Sinarnya menusuki rapuhnya kulitku. Mentari meninggi menegaskan keagungannya. Mengeringkan sisa-sisa luka yang tertinggal oleh sang cinta.

Laksana tupai lincah melompat, sepandainya ia akan jatuh juga. Bila saja badai ini tak menerpa, mungkin ku lukiskan seribu warna pelangimu. Rembulanpun merindukan pasangannya, namun terlanjur si bintang jatuh ke pelukan malam.

Andaikan lili itu tak bersemi, mungkin dapat kuarungi birunya samudra. Layaknya lagu iringi sayap-sayap duka, seperti ego ingin rasa lumpuhkan logika. Apa dayaku, kau telah bersamanya.

Bagai tebing acuh berdiri dengan kesombongannya, perlahan terkikis oleh sapaan ombak. Seperti semua mengalir tanpa perlu hati mengizin. Layaknya daun yang tak butuh angin untuk membuat embun jatuh cinta. Rasa ini tumbuh tanpa peduli sekaratnya si penderita.

Namun, maukah engkau menemaniku ?

Duhai kemilau yang menerangi gulita, kejorapun berbincang dalam heningnya malam. Seperti ingin kubisikkan pada bunga bahwa aku rindu segala tentangmu. Meski tak pernah tercipta kata kita karena kau dengan si dia.

Haruskah aku memohon pada bintang jatuh ataukah mengemis pada sang takdir ?

Mengapa ada pertemuan jika hanya menyisakan kegalauan. Bahkan tak pernah sedetikpun terlintas untuk memisahkanmu dari dirinya. Meski aku menangis dalam senyum kemesraan kalian. Tak lagi kemunafikan ini bergelora, aku ingin menjadi dirinya. Lalu sesaat sakit ini mencabikku hingga koma. Melawan cinta yang ada di hati.

Cemburu aku melihat burung-burung berkicau. Seperti menertawakan kisah yang tak berbalas. Terlintas wajahmu sesekali musnahkan upaya ku tahu diri. Seperti ingin aku dirindukan, namun siapalah aku. Bertepuk sebelah tangan seperti dongeng masa kini tak pernah ingin ku bermain. Meski belum tersirat kata rela, namun aku cukup lega. Lalu aku segan mengerti, meski tak pernah dimengerti.

Namun, apa salahku ?

Sapaan di lelahnya hari membawaku kedalam jurang itu. Sesalkah yang membawamu kembali, ataukah hanya bosan menanti? Tak pernah pula berniat saling bertukar rasa.

Dan aku tergoda oleh cintanya.

Bahkan hati tak mampu memilih. Entah amnesia aku dibuatmu, tapi enggan dibutakan. Seperti hujan yang tak lelah walau beribu kali terjatuh. Pasti kan ku temui muara bahagia itu, meski dengan atau tanpamu.

Akankah kau terus ada disisiku ketika kelabu menghampiri ?
Akankah kau terus berpijar ketika redupnya cahaya menghampar?

Walau nasihat silih berganti tak kuasaku menolakmu. Mulutku membisu, sibuk melawan batin. Dan memang mata yang tak pernah berdusta. Memang hati tahu siapa yang ia inginkan, meski mereka berkata jangan.

Pecahkan saja gelasnya, mungkin gaduhnya dapat menyembuhkanku. 
Nyalakan saja apinya, setidaknya asap dapat menyembunyikanku.

Katanya, Hati ada untuk saling memiki atau merelakan untuk pergi.

Cinta ini ada, meski hanya bertukar pandangan.
Rindu ini ada, meski jemari kita belum saling bersentuhan.

Mungkin kamu benar, namun apa peduliku. Biar kau larang kubisikkan bisik-bisik rindu. Salahmu ajariku bagaimana jatuh cinta lagi. Namun sialku lupa cara meninggalkanmu.

Cinta ini ada, meski relung kosong jemarimu dipenuhi oleh dirinya.

Tak rela aku menyeretmu hadir. Karena percuma semua kesempurnaan itu. Sebatas tabu belaka. Sempurna tetapi hanya iba akan paksaan egoku padamu. Meski melewatkanmu selalu terhenti dibatas senyum itu.

Namun, adakah cinta yang salah ?

Denting – denting menyelamatkanku dari lamunan panjang perjuangan cinta kita, yang terlanjur kau bersamanya. Hinakah aku yang hanya ingin sebuah balas? Hingga ku tak pantas dapatkan kesungguhanmu?

Namun, sudah kau pergilah

Sebab, adakah kesempatan untuk diriku menyatakan? Karena ada berjuta alasan mengapa aku harus menyerah. Entah mungkin harus selamanya terpendam.

Kita mungkin tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya, namun punya kesempatan untuk berbagi kisah walau hanya sekejap.

Menghilang sajalah lagi. Padamkan segala yang hadir tanpa permisi.

Teruntuk dinginnya udara pagi, salam hangat untuk cintaku. Biar kelak kudengar cerita tentangmu yang berlutut dihadapan seorang perempuan. Walau entah mengikatkan sepatu anak kita atau anakmu saja.

Dan demi kebahagiaan yang kita idamkan, teruslah terjaga agar tidak keluar dari apa yang kita impikan. Tersenyumlah duhai engkau yang dulu pernah kucinta. Senyum yang terlampau indah untuk mengobati hati yang resah.

Seperti matahari yang selalu terbenam, mau tak mau cinta ini harus perlahan tenggelam. Seperti hujan yang tak mampu menengok indah pelangi, begitulah kita saat ini. Mungkin bukan kamu orangnya, atau memang belum sekarang waktunya.


Melihat orang yang kucinta berbahagia, dan saat itu aku tahu segalanya akan sempurna. 

Maaf atas secarik cinta, dariku yang kandas dan patah hati.

Friday, February 27, 2015

Diujung Asa

photo by: Google

Sepi. Apa yang kurasa ketika melewati lorong tempatmu berbagi tawa. Seperti lengkap keheningan yang menyelimuti ronggaku ini. 

Bagai ombak yang selalu merindukan pantai walau gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Seperti semua rindu ada tempatnya. Yang bagiku, kini untukmu. Bahkan tak perlu bersentuhan untuk kau buat hati ini terjatuh. Sunggingan manis di bibirmu akan selalu menjadi idamanku.

Karena biarpun gemuruh menderu, hati ini akan tetap berseru untuk semua tentangmu. Biarlah angin berhembus, selamanya rasa ini tak akan pupus. Hadirmu telah membuatku bertanya tentang kita. Apakah pertemuan ini hanya kebetulan semata, ataukah permainan sang takdir. Atau hanyalah aku yang terbawa perasaan tak menentu ini.

Sang sabitpun menginginkan matahari, namun ia tahu sebatas mana harus bermimpi. Bahkan saat ku merindukanmu, seakan derai hujan dan gelapnya malam sudah menjadi karibku. Namun, mungkin selamanya juga kau takkan pernah tau, bahwa senyum itu telah mengusik kesendirianku. 

Izinkan aku untuk selalu menikmati manisnya dalam tenangku. Karena aku hanyalah serpihan harapan yang kau hempaskan saat setara dengan tingginya bintang.

Tikam saja aku dengan tawamu itu, setidaknya darah bisa memberi warna di lembaran kosong ceritaku. Bunuh saja aku dengan tatapanmu itu, mungkin sakitnya dapat mengalahkan rindu.  

Namun, kumohon jangan kau biarkan aku mati,  tenggelam dalam air mataku sendiri. Karena sejujurnya aku hanya merindukan sesuatu yang tak pernah aku miliki. 

Seperti bayang senyummu yang mulai memudar seiring langkahmu beranjak pergi. Walau aku sengaja diam, meski selalu kamu yang berkecamuk di pikiranku ini. Walau kau anggap aku ini bisu, namun pandangan ini tak pernah lepas dari bayangmu.

Namun, sudikah engkau menulis kisah ini bersamaku? 

Karena seperti yang semua tahu, kamu adalah apa yang selalu ingin aku tulis dalam ceritaku. Sedangkan aku? Hanyalah segala yang tak pernah engkau baca. Seperti jarum jam yang merindukan dentingan detik, meski hanya sesaat pasti kujanjikan segala yang berarti. Bahkan bila mencintaimu adalah suatu kesalahan, izinkan itu menjadi kesalahan terindahku.

Karena sesungguhnya aku tak pernah mengharapkan penantian yang lain. Seperti senja yang turun ketika kita bertemu di ujung jalan, sesaat senyummu mengakhiri seluruh perih. Gelak tawa itu mampu menghapus awan yang menutupi cerahnya hariku. 

Namun, maukah kau menyertai kebahagiaan itu? 

Karena bersamamu adalah hal yang selalu kudamba. Tak peduli hari ini, esok ataupun nanti, selamanyapun rasa ini akan tetap dan selalu ada, walau kamu selalu tak pernah menganggapku ada. 

Rembulan bersembunyi dibalik gelapnya langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Aku selalu berharap waktu tetap berjalan tanpa harus memaksaku untuk membunuh perasaan ini. 

Karena nyatanya aku ini hanyalah daun yang ingin terus kuat melekat pada pohon, yang pada akhirnya takdirku ada pada musim gugur.

Karena sesungguhnya tak pantas ku menyalahkan pertemuan itu atau berlari dari senyuman sinis sang takdir. Tak ada yang salah atas suatu perasaan, hanya saja mungkin sang waktu belum berpihak pada kita. Tapi, mengapa kita berada pada satu ruang yang sama bila nantinya tak saling terikat cinta.

Lalu apa gunanya sesumbar melawan dunia jika nyatanya berseru tentang hal yang berbeda?

Mungkin memang harus ada yang terluka untuk terlepas dari sesuatu yang bahkan belum terikat. Resah hati ini ingin berteriak, namun apa daya mulutku hanya mampu terisak. 

Bahkan langit hanyalah menunggu matiku, terhimpit oleh mimpi yang membunuh. Tercekik oleh rindu yang berujung sendu. Karena ternyata sang takdir menyadarkan kita untuk melangkah menuju bintang yang berbeda. Ibarat aksara yang bersembunyi dalam lubang harapan, ini hanyalah menunggu untuk diucapkan atau hanya mengendap sebatas asa.

Beritahu aku bila suatu nanti kamu membutuhkan payung ditengah derasnya hujan. 

Karena seberapa jauhnya engkau pergi, bintang takkan pernah meninggalkan langit. Karena seberapa acuhnya kau kepadaku, daun akan selamanya jatuh ke tanah. Karena seberapa besarnya rinduku padamu, mentari takkan pernah bersatu dengan bulan.

Tak apa untukku yang kini hanya ingin tumbuh menjadi doa, yang selalu mengiringi tiap langkahmu. 

Namun saat jejakmu terhapus oleh dinginnya embun pagi, beri tahu anak-anakmu bahwa pernah ada seseorang yang berharap untuk menikmati segelas teh hangat bersamamu, yang selalu merindukan kehadiran mereka untuk melengkapi bahagianya rumah kita.

Namun lagi-lagi, setidaknya kau pernah mengingatku sebagai hati yang pernah diam-diam mencintai.

Terima kasih sudah menjadi debar ketika jantung ini lupa berdetak. Biar burung-burung yang tahu bagaimana sunyinya ronggaku ditinggal tawamu. Biar lembaran kertas menjadi saksi bisu perasaan tak terbalas. Biarkan rindu ini kutitip pada mawar-mawar sendu. Biar suatu saat nanti waktu berputar menilik rindu, termenung menyiasati cinta dalam sajak tentangmu.



Monday, January 19, 2015

Layang-Layang

photo by: Pinterest



Tiba-tiba ada lagi. Rasa itu, kembali lagi. 
Tiba-tiba engkau ada. Kemudian, engkau hadir.

Seperti sudah lama tak melihatnya. Namun, sebenarnya belum genap dua belas bulan kita tak jumpa. Senyummu, matamu, tawamu, semuanya masih sama. Kecuali hatimu, tak lagi sama. Bukan lagi untukku. 

Lagi-lagi seringkali ku ucap, bahkan untuk tahu kabarmu baik saja sudah lebih dari cukup untukku. Seperti rasanya ingin kubertanya padamu, duhai pemberi harapan. Sudah berapa banyak hati yang berhasil kamu singgahi lagi? Tapi padahal aku juga tahu jawabannya, banyak. Jujur, masih ada samar-samar perih ini melihat kau dekat dengan mereka yang-ku-kenal. Namun, apa dayaku yang bahkan tak lagi terlihat.

Entah, satu yang tak pernah berubah dariku. Aku selalu tersenyum melihat namamu. Sedihnya, senyummu hadir ketika melihat namanya. Perih. Kamu akan selamanya menjadi "dia" untukku. Karena tak ada lagi aku dan kamu, bukan?

Hari demi hari kujumpa dirinya. Kulihat dia tersenyum beberapa saat. Ladang mata ini malu untuk memandang wajahnya, tapi hati ini takkan mampu berdusta. Perasaan yang terus tumbuh ini memang untuk dirinya seorang. Namun, entah mengapa hati ini yang selalu jujur. Hanya bibir ini yang selalu sulit untuk mengungkapkan isi hati. Maafkan aku yang tak tahu caranya mencintaimu, entah sampai kapan.

Bukan aku tak mau menyatakan apa yang kurasa, tapi aku takut. Takut akan jawaban darimu yang mungkin tidak seperti apa yang kuharapkan. Aku takut jika kita menjadi jauh karena ego dalam hatiku. Walau kini kita, maksudku aku-kamu tak lagi seakrab dulu, aku tak ingin memperparah keadaan ini.

Namun, seiring dengan langkah ini dan atas segala hal yang terjadi, perlahan kita sadar bahwa terkadang waktu mengikis seseorang menjadi sesuatu yang lain. Aku berharap, dunia ada tanpa waktu yang memaksaku untuk berhenti mencintaimu atau menyeretku untuk melupakanmu.

Karena saat bersamamu, aku seperti layang-layang. Digenggamanmu, aku dapat terbang kemanapun kau ingin melihatku. Awalnya, aku tetap berada diatas, tak peduli seberapa kencang angin menyapaku. Aku melayang dan tersenyum melihat kearah bawah. Aku tak pernah takut untuk terbang sepuasku. Karena aku tahu, ketikapun aku jatuh kelak, ada kamu yang menangkapku.

Tapi, semakin lama mengenalmu bukan layang-layang tinggi lagi aku terlihatnya. Aku menjadi layang-layang yang entah tak berarah tujuanku. Kamu, sang pemegang kendali selalu menarik-ulur tali yang menjeratku. Yang pada akhirnya, aku lelah lalu terbang tak berarah. Taliku terlepas terhempas badai. Lalu, tak selang berapa lama aku terjatuh karena sayapku robek terkena hempasan angin yang tak lagi sanggup aku terjang.

Tak teraba, malam semakin larut dan semua angan tentangmu semakin berkecamuk. Indah. Kata Indah dapat terdefinisi dengan jelas, namun sekarang mungkin tidak denganmu didalamnya. Indah akan nyata bila kau hadir dalam hidupku, hari-hariku, juga perjalanan hidup yang kujalani. Meski mungkin itu terdengar tak mungkin.

Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya, tapi kita mungkin punya kesempatan untuk berbagi kisah walau hanya sekejap. Terima kasih atas segelintir tawa dan air mata yang telah tertulis dalam sebaris kisah hidup kita.

Bukannya aku ingin menyalahkan takdir, atau mengulang lagi waktu, karena ku tahu selamanya ku takkan pernah mampu. Tapi satu, aku rindu. Maafkan aku bila diam-diam sering mencuri temu untuk melihat senyummu. Aku sepenuhnya sadar, tak ada yang mampu dan seharusnya kulakukan kecuali mendoakan selalu dirimu dalam kalbu. 

Sebab, kata ibuku Cinta yang dibungkus dengan kepedulian tak pernah punya cukup alasan untuk mengemis segenap balasan. Ia mendoakan. Kini cukuplah hanya dengan doa menguatkan daku. Karena, jikapun kau tak lagi mendengar suaraku dari ujung telpon genggammu, bukan berarti aku tak mengucapmu dalam doaku. Karena kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Karena setidaknya aku tahu, walau aku tak lagi denganmu-ataupun sebaliknya, ada yang selalu menjaga kita. Semoga dan selalu.