Sunday, November 30, 2014

HOLD ON - 1

Tak terasa sebelaspun usai, seperti belum sempat kupejamkan mata duabelas sudah menyambutku. Semua terasa cepat dan begitu lebat, hujan diluar sana, sama seperti hatiku. Diakhir sebelas ini banyak hal yang tak hanya membawaku kedalam gelak tawa, namun juga menerjunkanku dari tingginya tebing rindu.

Cinta, dia masih melihatku...

Dia, ya, dia yang dulu menjadi matahariku tiap pagi. Dia, yang selalu menjadi pemeran utama di mimpiku. Dia, yang senyumnya selalu kurindu. Dia, yang tak pernah bosan kusebut namanya dalam doaku. Dia, yang menjadi alasan hati ini bertahan. Dia, yang entah-kusadari atau tidak, selalu kuinginkan. Dia, yang hingga kini tak pernah pergi.

And it keeps me wondering why..

Dia menyapaku, lagi...

Entah mungkin ini terdengar aneh ataupun berlebihan, namun aku tak tahu aku harus apa. Seharusnya senang, karena ternyata dia masih melihatku. Namun sedih, karena itu hanya-once in a blue moon. Ini nyata, bukan hanya skenario tulisan yang berlarian di kepalaku, atau mimpi yang begitu saja. Seketika semua kenanganku tentangnya kembali menyapa, bersamaan dengan “hai” yang membawanya padaku.

Cinta, aku jatuh lagi...

Kukira bukan ini yang terasa ketika kamu yang telah lama pergi meninggalkanku berdua dengan rindu ini. Kupikir, senang atau bahagialah yang kan menghampiriku, namun lagi-lagi kusalah. Sekejap aku kembali merasakan sakit, yang selalu berusaha kutinggalkan sejak bertahun-tahun lalu. Aku sekarat lagi.

Cinta, dia jahat..

Mungkin bukan sepenuhnya salahmu, karena lagi-lagi, ini semua salahku. Bertahun-tahun aku mencoba untuk bukan menghapus atau melupakan, hanya tidak mengingatmu lagi. Bertahun-tahun pula aku mencoba untuk tidak mencari tahu kabarmu-apakah kau baik saja, sehat, sakit atau bahkan masih atau tidak lagi di dunia ini. Bertahun-tahun aku berjuang untuk tidak lagi menghiraukan rasa sakit ini. Bertahun-tahun juga aku bertahan, dan bertahun-tahun aku gagal.

Tapi...

Tapi dengan bahkan tak seuntas, hanya sebuah kata sapa darimu semua usahaku sia-sia. Hanya tak sampai hitungan menit, dengan detikpun aku dipaksa lagi untuk membangkitkan kenangan pahit itu lalu, lagi-lagi aku jatuh dibawanya. Aku bahkan tak tahu apa maksudmu, entah hanya ingin tahu kabarku, atau mungkin membunuh waktu luangmu, atau mungkin, kau rindukanku? Ah, tak mungkin rasanya. Kisah tentangmu yang merinduku itu hanya ada dalam khayalku, hanya ada dalam dongeng yang aku sendiri penulisnya.

Cinta, pegangi aku...

Kau tahu siapa musuh yang sebenarnya? Bukan mereka yang selalu berusaha menjatuhkanmu, bukan mereka yang tak peduli seberapa berat lalu menyalahkanmu, tapi kamu, hati dan pikiranmu. 
Aku seperti tak lagi sanggup menopang diriku ketika pikiran dan hati ini bertengkar, berkata tak sejalan.

Cinta, aku lelah..

Jujur, kuakui ini bukan yang pertama. Namun, kau perlu tahu, beribu-ribu kali juga aku gagal. Aku (masih) terjebak nostalgia. Kata-kata itu, suara itu, terlalu indah untuk dilupakan, namun terlalu perih untuk dikenang. Mata itu, senyum itu... Ah, masih ingin ku memilikinya. Aku belum rela, belum mampu aku melepaskan itu semua. Aku menyerah.

Cinta,

Thursday, November 20, 2014

Five stars

photo by: Google

Lelah kujumpai di senja itu, bahkan tak lagi kuhiraukan entah kemana kaki ini kan membawaku. Kutinggalkan semua keceriaan, senyum, canda, dan tawa dikelas, tuk kukenakan lagi esok hari. Langit tak secerah biasanya, tak kujumpai lagi mentari itu. Memang akhir-akhir ini cuaca tak menentu, sama seperti cuaca di hatiku. Perlahan, derai itu turun, gerimis membuka kelabunya rabu itu. Terduduk aku termenung didepan jendela kamar yang dihiasi derasnya air hujan. Entah mengapa, aku senang memandanginya. Bagiku hujan itu indah, seindah kenangan dan memori yang menyertainya. Tanpa sadar, terputar sebuah lagu indah dari laptopku yang membawaku kepada nostalgia. Aku juga tak tahu mengapa ini terdengar seperti drama yang sering teman-temanku tonton, duduk di depan jendela, melihat derasnya hujan, sambil ditemani mellownya lagu sendu, soreku lengkap kala itu. 


Mataku terserang kantuk hebat, beberapa kali kucoba tuk pejamkannya, namun berulang kali juga pikiranku tak tertidur. Mungkin aku bukan orang yang mudah bercerita atau mengungkap kata, atau mungkin juga aku terlalu malas untuk menyampaikannya kepada orang lain, itu mengapa aku lebih senang menulis. Bagiku, menulis dapat melegakanku. Aku bisa bercerita apapun yang kurasakan, tanpa khawatir akan ada pihak yang terluka. Aku bisa mencurahkan seluruh pikiran dan isi hatiku, tanpa takut ada yang mengacaukannya. Bagiku, menulis cukup mewakili apa yang kurasakan, tanpa harus kau tahu. Tak jarang, aku membaginya di laman blogku, seperti ini. Namun, bila kau benar mengenalku, aku punya ratusan draft serta ribuan lembar kata yang tersimpan di lembar-lembar diary pribadiku, yang kusimpan rapat-rapat hanya untukku, dan cerita-ceritaku. Menulis itu seperti.. seperti aku tak butuh lagi kamu atau siapapun karena hanya dengan laptopku saja, sudah cukup. Bukan aku tak punya orang lain, hanya saja tak ingin merepotkan, siapapun itu. 

Bukan kumerasa beruntung, namun lebih dari itu. Tinggal dan hidup bersama banyak orang yang kusayang dan menyayangiku, memiliki sahabat-sahabat yang bukan hanya sekedar tahu dan mengerti, tapi juga memahami baik dan buruknya aku. Walau kini kita sudah tak sering berjumpa lagi dan tak lagi bisa menunggu bel istirahat sekolah tuk bersua, melainkan menyocokkan jadwal libur kuliah yang kau tahu, sering tak sama. Walau kini bahkan untuk memulai percakapan saja kita harus berpikir apakah itu akan mengganggu satu sama lain, atau tidak. Jujur, aku benci berada di keadaan ini, tapi inilah hidup, dan bukankah tak jarang jarak akan menjadi saksi kuat atau lemahnya suatu hubungan? Bahkan untuk mendengar kabar serta melihat foto profil sahabat-sahabatku tersenyum saja hatiku lega. Walau jarak dan waktu memisahkan kita, setidaknya aku tahu ada mereka yang menyayangi dan merindukanku. Setidaknya, itu lebih baik daripada bertemu setiap hari namun tak ada yang peduli. 

Tak jarang, aku memikirkan kita. Ketika kumelintas disuatu tempat kadang kumerindukan kebersamaan kita, ya, dalam cerita ini adalah aku dan keempat sahabatku. Terkadang, ketika kumengendarai mobilku dijalan yang sering pula kita lewati, ku terbawa akan kenangan-kenangan kita, dimana semuanya bersatu, mulai dari canda, tawa, hingga tangis. Ku bahagia tumbuh bersama kalian, sahabat-sahabatku tersayang. Beruntungnya, tak hanya kusendiri yang sering merindukan kebersamaan kita, tapi juga kalian. Tak jarang pula, aku memutar video-video aneh yang menurutku lucu, yang kalian buat untukku, hingga tak sadar pipiku basah berlinang air mata, entah karena bahagia atau rindu, kini sulit bagiku membedakannya. Hampir empat tahun usia kita bersama, tak terasa, kuharap ini kan berlangsung selamanya. Karena dengan bersama kalian, aku belajar. Aku banyak belajar dari kalian, sangat banyak. Dulu, kukira membuka diri itu tak baik dan menyunggingkan senyum dibibirku itu sangat sulit. Dulu, bahkan untuk bercanda dengan orang yang baru kukenal adalah kelemahan terbesarku. Dulu, aku seperti tak menjadi diriku. 

Setelah aku bertemu kalian, ternyata semua persepsiku salah, hidup ini tak semudah novel-novel remaja yang kubaca, tak seindah puisi cinta dan rangga- ada apa dengan cinta, tak serima iringan melodi musik dalam suatu simfoni, namun, hidup itu penuh warna, seperti pelangi. Aku belajar bagaimana caranya berbicara dengan orang yang baru kukenal, aku belajar bagaimana caranya menjadi humble dan disegani banyak orang, aku belajar bagaimana caranya agar dihormati dan dihargai orang lain, aku belajar bagaimana caranya selalu tersenyum dan bertahan dengan banyaknya kerikil, aku belajar bagaimana melihat dan mengenal orang lain agar tak sebodoh-bukan sepolos aku yang dulu, hingga belajar bagaimana caranya memiliki banyak sahabat-agar aku tak merasa selalu tergantung pada kalian, pada kita.

Kumiliki kalian berempat, namun tak hanya empat warna yang kulihat, tapi lebih dari itu. Kalian membuat aku benar-benar hidup, maksudku, benar-benar hidup dengan sifat apa adanya diriku. Kini, aku bersyukur walau terus belajar untuk menjadi bukan orang lain, namun versi terbaik dari diriku. Aku tersenyum menulis kisah ini, sampai tak lagi kuat mata ini membendung tangisku. Hujan diluar sederas hujan dihatiku, merindukanmu, sahabatku. Sebelumnya, sering kubaca cerita tentang persahabatan, kudengar orang lain berbicara tentang indahnya bersahabat, namun tak pernah kuhiraukan karena menurutku, itu hanya lelucon. Namun, semua itu salah setelah aku bertemu kalian. 

Kalian membuka mataku tentang indahnya hidup dan memberiku makna tentang apa itu sahabat sejati. Sahabat bukan orang yang selalu menemanimu dikala kau senang, atau mengambil keuntungan dari kelebihanmu. Bagiku, sahabat adalah mereka yang tahu sisi terbaik hingga terburukmu, namun dengan semua itu, mereka tetap mau dan tak malu berjalan bersamamu.



Ku tak berharap apapun kecuali kebahagiaan dan sehat selalu untukmu sahabat-sahabatku tersayang. Kupercaya walau kita terpisah sekalipun jarak dan waktu, namun dengan doa, kita selalu dekat. Kudoakan segala yang terbaik bagimu, bagiku, bagi kita. Sampai berjumpa di hari esok, hari yang indah, yang selalu kita tunggu bersama. Akan selalu kurindukan lagi saat bintang-bintang kita bersinar bersama, menerangi gulitanya malam, bersama menghiasi indahnya hamparan langit luas. Salam sayang dari sahabat kecilmu, eldyta.

Friday, November 7, 2014

Perhaps, You



photo by: Tumblr


Entah harus kumulai darimana cerita ini, aku bingung. Yang kutahu hanyalah, semalam ku memimpikanmu. Entah mungkin karena apa, aku tak tahu. Bertemupun sudah tak pernah, bertegur sapapun jarang.

Seingatku, aku tak lagi sempat memikirkanmu, apalagi akhir-akhir ini. Semalam aku terlelap cepat, tubuhku lelah dengan ramai dan hiruk-pikuknya kota ini. Mataku terpejam, jauh, dan terjaga, melupakan semua beban, kesah, dan lelah hari kemarin. Hingga tak kusadari, matahari sudah tinggi dan akupun terbangun. Aku merasa setengah sadar-tak sadar. Aku benar-benar lupa dengan apa yang kulakukan semalam, kecuali satu. Aku, mengingatmu.

Aku merasa benar-benar ada disana, bersamamu. Disana aku dan kamu bercanda, tertawa, dan kau menatapku, seperti kau menatapnya, kini. Kau menelfonku dengan suara beratmu untuk mengajakku makan siang, kita pergi ke sebuah tempat, bercanda, tertawa, lalu berbagi cerita. Kita, atau mungkin hanya aku, merasa menjadi manusia paling beruntung hari itu, karena ada disampingmu. 

Aku merasa hari itu terlalu indah. Menatapmu, mendengar suaramu, melihat senyummu, semuanya indah, hingga tak terasa mataharipun tenggelam. Hingga aku terlelap di mobilmu, yang sudah sampai di istanaku. Pagi itu, aku merasa benar-benar bingung, 
kau membuatku susah untuk membedakan mimpi dan kenyataan. Aku merasa benar-benar ada disana, bersamamu. Akupun terdiam, duduk di tempat tidurku, sambil menatap birunya langit yang diterpa sapaan angin pagi. Ah, aku kehilangan..


Tapi kau tak ada disini, disampingku. Bahkan, menguhubungikupun tidak. Pernah beberapa kali kau menelfonku lagi, namun sialku, aku selalu sudah terlelap dalam mimpi-mimpiku. Kuhela beratnya nafas, dan mencoba mengingat, dan bertanya lagi. Bertanya, kapan ku akan berjumpa lagi. Kuhela lagi sisa nafas ini, tak tersadar bibirku tersenyum dan hatiku berkata " mungkin esok".

Esok? Mungkin. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Haha. Tawaku dalam lelah. Berjumpa lagi? Dengan siapa? Hatiku berkata lagi, mungkin denganmu. Kau tahu? Aku sangat jarang memimpikan seseorang dalam lelapku. Terkadang, itu hanya muncul ketika aku sedih, sangat sedih, atau rindu, sangat rindu.

Kuhela dan kuputar lagi memoriku, kucoba menerka. Namun kutahu, sebenarnya aku belum juga siap dengan jawabanku. Ternyata benar, itu mimpi..

Kau? Tidak nyata. Kau tak ada disini, disampingku. Tak ada, tak ada. Namun, ku tersenyum, karena mengingat senyummu, senyum yang kurindu. Jujur, aku kesal dan kecewa.

Entah mengapa, walau ku tahu aku tak seharusnya begitu. Ku merenung, namun bahagia. Bahagia karena sempat melihatmu, berada disampingmu, mendengar tawamu, mendapat senyummu, memiliki tatapanmu, dan menjadi satu-satunya untukmu, walau hanya dimimpiku.