Monday, June 29, 2015

Hujan di kala Senja

photo by: Tumblr

Kulihat rintik hujan kembali bersemi di gersangnya pagi. Maka mentari sinari kelabunya awan biru. Seperti aku yang mulai lelah untuk kembali berlari, walau sungguh hampir mati.

Entah mengapa kisah ini masih tentangmu lagi. Aku bahkan tak mampu mengungkap apapun lagi tentang kisah ini. Aku sudah terlalu letih untuk pergi, namun terlalu lemah untuk bertahan.

Benar katamu, cinta ini tak seharusnya berbunyi. Mungkin, esok ia hanya menjadi sunyi

Inilah mengapa aku tak mau lagi untuk hanya sekedar kembali menjatuhkan hati. Meski jelas aku tak akan mampu memilih kemana kelak kan berlabuh. Namun sungguh, aku ingin berhenti.

Aku lelah.

Lelah untuk selalu mencemaskanmu, menanyakanmu, mencarimu, merindumu. Lelah denganmu yang hanya datang kepadaku kala bosan menghampar. Lelah dengan penantian yang selama ini kujalani. Lelah mengapa lagi-lagi hanya aku yang mencarimu, sedang kamu bahkan mungkin mencari dirinya. Lelah mengapa lagi-lagi aku yang merindu, kapan giliran aku dirindukan ?

Haruskah semua berakhir bahkan sebelum sempat kita mulai ?

Biarkan ku bercerita kepada angin tentang rasa yang tak akan pernah kau mengerti. Sesekali ingin rasanya menjadi seseorang yang dicari, yang dirindukan. Bukan sang pemimpi yang selalu menanti.

Kapan giliranku untuk bahagia?

Kadang kau harus berada di dalam gelap untuk melihat indahnya bintang. Tetaplah tersakiti dan rendah hati, maka kau akan tahu akan ada aku yang menemani.

Lalu, akankah kamu pergi berkelana lagi untuk mencari persinggahan lain?

Ternyata benar, ada saat dimana kita harus memilih entah harus menyerah atau bertahan sedikit lebih lama. Sayang, sungguh aku tak akan terlalu bodoh untuk terlelap lagi dalam pesonamu.

Lalu, haruskah aku lagi yang terluka?

Karena sesungguhnya kamu hanyalah bujuk rayu yang selalu mengusik kesendirianku. Sungguh sudah kututup rapat-rapat hati ini lalu ku buang jauh-jauh kuncinya. Namun, lagi-lagi kau mampu temukan semua yang telah ingin kulupakan. Seperti aku yang sudah hampir lupa rasanya jatuh cinta, namun kembali kau ingatkan indahnya terjatuh.

Kasih, sungguh ada aku disini

Kamu memang seperti jingga di cantiknya senja. Singgah sejenak, dan berlalu begitu saja. Kasih, tidakkah kamu lelah untuk selalu berlari dari persinggahan lalu? Berhentilah, dan raih tanganku.

Namun, haruskah aku menyisakan ruang untukmu bila tatapan itu masih untuknya?

Seperti hujan di senja itu, kaupun hadir dan pergi tanpa permisi. Dan benar, aku takkan pernah merelakanmu lagi bersamanya. Tidakkah kamu sadar hanya aku yang selalu menemani tiap keluh kesahmu? Ada aku yang selalu menunggu ceritamu.

Namun, siapkah kau tuk jatuh cinta lagi?

Karena kamu adalah tokoh utama yang kuinginkan pada setiap lembar kisahku. Namun, aku tak lagi mampu berharap. Mungkin aku akan kembali kau ingat sebagai hati yang diam-diam mencintai. Entah, apakah ini hanya akan berakhir menjadi sebuah dilema, kala malam itu kita bertukar kerinduan yang melebur menjadi sebuah pelukan keheningan.

Percayalah kasih, aku takkan berbagi

Pukulan telak menghujamku kala kau sebut namanya dalam rentetan cerita bahagiamu. Namun rindu menyapaku terlalu pagi, membuat hari terasa semakin sepi. Maafkan aku bila nanti tak lagi mau menjadi angin penyejukmu. Maafkan bila suatu hari mungkin aku tak lagi ada untuk menemani sepinya malammu. Terlalu menyakitkan, untuk menyakiti.

Bila saja rinduku ini dapat terungkap semudah kau bisikkan rindu itu padanya

Aku sudah sekarat dengan semua rindu yang menghimpitku. Nafasku sesak dengan semua kenangan dan angan tentangmu. Sungguh kamu jahat bila kau jadikan aku pelarianmu lagi.

Tuhan, haruskah aku lagi yang patah hatinya?

Suatu hari, ketidakpedulianmu akan menyadarkanku bahwa kamu bukanlah jawaban doaku. Maka, ingatkan aku tentang semua tawa yang pernah terdengar bersama. Ingatkan aku untuk selalu terjaga dari semua perih yang terukir dengan manis.

Haruskah lagi-lagi aku yang ditinggalkan?

Bila saja kau tahu, sungguh tak ingin kubuka lagi hati ini untuk persinggahan lain. Ataukah, harus kuakhiri saja penantian ini ? Akankah aku mampu kembali terbang bila sungguh aku ingin berhenti ?

Terkadang, di sudut malam kala rindu ini menyiksa aku hanya mampu menangis sambil memeluk bayangmu

Biarkan bintang-bintang menjadi saksi penantian tulusku. Bila memang rindu ini masih milikmu, katakan harus berapa lama lagi aku menunggu. Beritahu aku caranya terlepas dari perangkap pesonamu. Sungguh, melupakanmu tak semudah jatuh hati.

Entah mana yang lebih sakit, melupakan atau bertahan dengan ketidakpastian

Jangan kau tanya masih mampukah aku untuk berdiri, karena rindu yang awalnya kuanggap kerikil kini telah membuatku kerdil. Sialku sempat bermain kayu untuk menyalakan api, kemudian aku kembali menjadi abu saat percikan api lain mulai tumbuh di hatimu.

Tanyakanlah pada langit bagaimana ia merelakan tiap rintik hujan yang enggan kembali. Seperti itulah aku nanti ketika kamu lantas pergi. Terima kasih telah mengajariku tentang kehilangan.


Ingin ku ulangi mimpi semalam, karena saat kubuka mata, ternyata bersamamu hanyalah sebuah cerita.


Sunday, April 26, 2015

Cinta Sendiri

photo by: Google


Langit seperti sedang bingung, maka cuaca tak menentu. Hari ini tak secerah kemarin. Terlihat malu, mentari bersinar ditutupi awan namun tetap turun rinai hujan.

Seperti aku yang rindu dengan lembut matamu, yang padu dengan hangat senyum itu. Namun mengapa semua kini menjadi terlalu dingin untukku?

Mungkin jodohku sedang berada dalam cinta yang salah, atau mungkin kini aku yang terjebak? Ajari aku cuek seperti yang kau lakukan setiap hari. Dan mungkin suatu hari nanti, namamu tak lagi membuatku tersenyum.

Karena pada akhirnya kita semua akan jatuh cinta kepada orang yang tak terduga-duga

Bukannya aku meninggalkanmu, aku hanya berusaha menjaga diriku dari rasa sakit yang aku tahu persis bagaimana perihnya. Karena ada kalanya perlu kuterima bahwa ada orang yang diciptakan untuk ada didalam hati kita, bukan hidup kita.

Tetapi aku jatuh cinta dengan caramu menyentuhku tanpa tangan itu

Tak perlu bertegur sapa, untuk tahu kabarmu baik saja sudah cukup untukku. Bukan tentang fisik atau materi, hanya kenyamanan hati. 

Karena terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan mempersatukan. Kau ciptakan rasa ini sekejap, namun sebelum rasa ini menguat kaupun lenyap dalam gelap.

Tapi, apakah kau tahu rasanya mencintai namun bertahan untuk tidak memiliki? Bertahan untuk tidak mengungkapkan? Percayalah, ini lebih buruk dari sekedar patah hati.

Kopi di malam ini terlalu manis, seperti rasa yang seharusnya ditinggalkan namun sulit dilepaskan

Sesaat semuanya tak lagi sama saat aku menatap mata itu. Ini semacam tidak memiliki, namun takut kehilangan. Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku tak mampu merengkuhmu dalam genggamanku. Jangankan jemari, sajakku saja sudah tak mampu lagi menyentuhmu.

Katanya, sebuah cinta yang nyata butuh penantian

Tak semua orang dapat menarik habis nafasku, bahkan kamu tak perlu mencobanya. Katanya, bila kau inginkan pelangi maka kamu harus mampu menerima hujan. Tapi seseorang yang peduli dengan perasaannya akan memilih maju atau menunggu, ia tidak pernah diam saja. Mungkin lebih baik kulepaskan daripada memaksakan.

Mengapa tak kau ijinkan aku mencintaimu ?

Biar hujan membasahi pedihnya kemarin. Bukannya aku tak ingin jatuh cinta, aku hanya takut salah lagi. Jadikan hati ini rumah, tempatmu pulang. Bukan sebagai tempat singgah saat berlibur dari kisah lain.

Bukankah semua memang akan selalu menjadi salahku?

Aku tahu aku tak memilkimu, atau mungkin selamanya takkan mungkin. Hingga aku tak memiliki hak untuk cemburu melihat kau bersamanya.

Aku tahu kau tak memilikiku, dan aku tak seharusnya meminta. Aku tak seharusnya sendu ketika rindu dengan namamu.

Aku tahu aku tak punya hak untuk merasa, namun bukan berarti aku tak mencintaimu.

Katanya, siapa yang berani jatuh cinta harus siap bila cintanya benar-benar terjatuh. Namun bila memang cinta adalah bagaimana aku bertahan, maka akan kulepaskan jika kuatku tak lagi dihargai. 

Beberapa mimpi ternyata tidak dimaksudkan untuk menjadi kenyataan, aku belajar darimu

Pergilah hingga bayangmu lenyap ditelan pekatnya malam. Mungkin kamu memang bukan seseorang yang pantas untuk ku perjuangkan.

Karena selain mencintai dan mendoakan kebahagiaanmu, aku bisa apa? Memaksamu untuk mencintaiku juga? Sayang, aku tidak sejahat itu.

Jika memang akhirnya aku tidak bersama dengan orang yang sering kusebut namanya dalam doaku, setidaknya semoga aku dibersamakan dengan orang yang sering menyebutku didalam doanya.

Teruslah seperti itu,

Meski aku menulis karena kamu tercipta, namun hidup terus berjalan meski dengan atau tanpamu. Kamu memang menyukaiku, salahku yang mencintaimu. Maaf, bila aku masih tersenyum ketika mengingat caramu menggodaku. 

Bila memang bukan kamu, mungkin sekarang giliranku untuk menemukan seseorang yang menghargaiku.

Kelak kau akan mengerti,

Bahwa aku hanyalah perempuan yang sedang jatuh hatinya, bukan penjahat yang ingin mencuri hatimu.

Dan suatu hari ia pasti akan lelah. Lelah dengan semua balasan singkatmu, kepalsuanmu, dan segala kata indahmu. Dan kamu tak akan bisa menjadi selamanya bodoh untuk berpikir bahwa ia semudah itu. Bahwa ia pernah memberimu kesempatan. Tapi apa yang kau lakukan? justru mematahkan sayapnya hingga ia tak lagi mampu mencari persinggahan lain.

Semesta mengadu, awan jatuh akan rindu. Meluapkan butir cinta yang hinggap dipelupuk anganku. 

Biarlah aku saja yang merindu, ini berat. Kamu tak akan kuat. Rasa ingin berkata tak sanggup lagi. Namun mulut tak mampu berucap, terlalu menyakitkan untuk menyakiti.

Relakan daripada harus berjuang sendirian

Kamu terlalu lama membuatku mati rasa, sampai aku lupa mencintai atau membenci itu hanya untuk sekedar bersama ironi. Tapi aku tak menyesal pernah menunggumu, karena setidaknya aku belajar caranya berjuang. Perlahan, kamu adalah bagian dari perjalanan panjangku yang mungkin tak akan lagi kurindukan.

Karena suatu saat nanti akan ada saat dimana aku benar-benar lelah, hingga aku benar-benar tak lagi merindukan sapaanmu di sepinya malamku. Tak lagi berharap sunggingan manis senyummu. Tak lagi memintanya, bahkan mungkin tak mengingatmu lagi.

Ikhlaskan daripada menyakitkan

Ternyata mungkin selama ini aku hanyalah cinta sendiri. Tapi aku enggan menangisi yang telah lalu, agar bahagia bisa bertamu. Terkadang kita memang harus mengikhlaskan, bukan karena tak sayang, namun ada sesuatu yang tak dapat dipaksakan. Terima kasih telah mengajariku tentang kenyataan.

Dan aku memilih untuk mencintaimu dalam diamku

Ijinkan aku berbahagia sejenak untuk beristirahat dari cinta yang salah. Karena tuhanku berkata, bila aku mampu bersabar, maka Ia mampu memberi lebih dari apa yang kuminta. Walau akhirnya aku menyerah, setidaknya aku pernah berjuang untuk tidak kalah oleh keadaan.

Aku hanya ingin bersamamu. Sesederhana, dan serumit itu

Mungkin bila kesabaran tak cukup membangunkan, aku rela bila kehilangan harus menyadarkan. Kamu memang sudah lama berhenti mencintaiku, bodohnya aku yang menyayangimu tiada akhir.

Kuharap kamu melihat rindu itu bila nanti hujan turun. Setidaknya, kupikir itu cukup memberitahumu bahwa ada aku yang merindu.

Bila nanti surya tenggelam dan luna terpancar, disitulah aku mengenangmu. Lewat doa, kusampaikan rindu ini padamu. Segeralah pulang, aku menunggumu.


Friday, April 10, 2015

Menilik Rindu

Photo by: Google

Mentari usai bersinar namun senja belum menampakkan kilaunya. Ternyata abu yang menutupi birunya sang langit. Mendungnya sama, seperti hariku. Perlahan rintik hujan turun membasahi keringnya dedaunan, sekejap membawa memoriku kembali melayang.

Lalu, haruskah aku menari disela ramainya hujan atau terdiam memandanginya ?

Ternyata memang lelah mengharapkan sesuatu yang hampir mustahil. Lagi-lagi aku yang disalahkan, padahal semuanya nyaris sirna. Jangan tanyakan aku tentang cinta, jelas lupa bagaimana rasanya. Tak perlu juga ku perjelas, apa juga pedulimu.

Duhai sang pemilik cinta dan semesta, malangnya diri mencintainya yang sibuk mencintai si dia. Mengapa aku bahkan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin kudapat.

Mana mungkin kau minta sebait puisi dariku, sedangkan kisah ini hanyalah segala tentangmu. Jangankan hanya sebaris kata, seribu halamanpun kan kuciptakan untuk kita.

Namun sayang, aku bukanlah pujangga yang mampu merangkai untaian kata manis. Namun sayang, aku bukanlah penulis yang mampu ciptakan ratusan kisah bahagia dalam semalam. Aku hanyalah perempuan dengan berjuta cerita yang menunggumu untuk melengkapinya, bersamaku.

Mengapa lagi-lagi aku terjatuh kepada hati yang salah ?

Bahkan rembulan pun tak berizinkan menengok si bintang. Bila saja hati ini tak memilihmu, mungkin mudah untukku mengobati luka yang terlanjur mendalam.

Mengapa harus kau biarkan aku tahu kau mencintainya?

Meski aku hanyalah selalu yang kedua. Aku, kamu dan logika kita mungkin memang berbeda.

Aku benci caramu memanggil namaku, wanita mana yang mampu mengacuhkan suara itu. Aku benci caramu bercerita, wanita mana yang tak ingin selalu mendengar. Aku benci caramu menatapku, wanita mana yang tak tersipu. Aku benci caramu tersenyum, bahkan mentaripun cemburu dengan hangatnya senyummu.  Aku benci caramu membuatku tertawa, selalu membuatku rindu.

Hanya satu tanyaku, sampai kapan harus kurajut cerita ini sendirian ?

Enggankah kau menorehkan sedikit pena di lembaran kisahku? Karena suatu saat nanti akan tiba masanya ketika aku lelah menulis kisah ini sendirian.

Bila saja kamu belum bersamanya. Ah, namun belum tentu juga kau akan memilihku. Ingin kubunuh pacarmu saat dia peluk tubuh indahmu didepan mataku. Aku cemburu. Karena setiap tawa yang kuhabiskan bersamamu nantinya akan berujung sendu

Dan sang takdir pun tersenyum sinis melihat hatiku habis teriris.

Duhai cinta, mengapa lagi-lagi aku yang tersakiti?

Kemarilah dan raih tanganku, kan kujanjikan kau bahagia yang telah hilang dari dirinya. Kabari aku bila esok kau tak bersamanya. Kirimi aku surat dan ceritakan keluh kesahmu, maka akan ku lukiskan sepinya harimu dengan warnaku. Melangkahlah bersamaku

Tak sudikah engkau singgah dibenakku sejenak?

Duhai kasih, maaf bila ku telah jatuh cinta.

Lalu, siapa yang rela dimadu. Memang semua kisah harus berakhir, entah bahagia atau tak sempurna.

Duhai kasih, lalu kapan giliranku membahagiakanmu? 
Relakan aku atau tinggalkan dia.

Apakah waktu mampu menghapus serpihan-serpihan rindu ?

Karena aku bukanlah Tuhan, yang selalu mampu memaafkan. Karena aku bukanlah malaikat, yang selalu bersabar. Karena aku bukanlah mentari, yang tak lelah menunggu sang bulan setiap hari. Karena aku bukanlah hujan, yang tetap setia walau berkali-kali terjatuh

Seperti dedaunan yang terbang tertiup angin, seperti itulah serpihan hati ini kau tinggalkan. 

Lalu, suatu hari nanti ingatkan padaku tentang rasanya mendapatkan cinta yang selama ini kau idamkan. Karena bila saja kau tahu bagaimana bintang tak lelah bersinar meski sering ditutupi awan, begitulah ku mencintaimu.


Monday, April 6, 2015

Selintas Cinta

Photo by: Google

Gelapnya malam gantikan birunya sang langit, namun masih terlihat gemerlapnya gemintang di sudut awan itu. Tak habis rasanya ribuan kata untuk senyummu itu, duhai si pencipta rindu. Ratusan hari sudah tak jumpa, namun tak sedetikpun terlupa. Meski ribuan jam ku terlarut dalam kesibukkan demi tak lagi ingat kamu, sekejap kau datang lagi mengusik tenangnya sepiku.

Apakah gelap ini tak nyata, atau hanya aku yang tak terbiasa tanpa cahaya ?

Mungkin memang ada yang harus terluka untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak mengikat. Seakan mulutku terbungkam mendengar gelak tawamu lagi, matakupun bersinar dengan senyum nan menawan itu, dan hatiku terjatuh lagi dalam lembutnya tutur katamu. Ya, kau memang terlihat asing di mataku, tetapi tidak untuk hatiku.

Tapi, mengapa bulan dan bintang selalu bersama sedangkan kau tak pernah hadir dalam setiap gelapku?  

Ingin rasa berteriak, mengungkap semua rindu yang selama ini menunggu. Tak sabar rasaku bercerita betapa bahagianya aku melihat kamu lagi, wahai sang penakluk hati.

Katakan kemana aku harus menemui Tuhanmu, agar Ia tahu cinta kita harus bersatu.

Dan semenjak rasa itu ada, semuanya tak lagi sama. Jangan salahkan aku berharap menjadi objek favoritmu, pangeranku. Meski ada hasrat ingin menyapamu, namun aku hanya mampu menyimpan kata. Meski rindu sekali hati ini mendengarmu bercerita, namun aku sadar sebatas mana harus meminta. Dan aku hanyalah bentuk kesepian yang engkau ciptakan.

Sehening apapun aku dilihatmu, selalu ada saja suara. Ialah detak rindu yang selalu setia menunggu.

Walau berat untukku bersembunyi, meski dari cinta yang kau tumbuhkan sendiri benihnya. Sekarat aku dalam sakit yang kau berikan. Dan aku berharap kita menjadi pasangan, bukan lagi sebatas teman atau kawan.

Seperti ceritaku menjadi nyata dalam satu malam

Bila saja kau tahu seberapa besar rindu ini mengurungku dalam kesedihan yang panjang. Bahkan aku tak dapat lagi membedakan air mata ini, karena bahagia dengan perjumpaan kita ataukah sedih karena kamu masih menjadi rahasiaku.

Jika hujan rela selamanya terjatuh ke bumi, mengapa tak kau sisakan satu cinta untukku? Karena tak ada lagi yang dapat membuatku hidup dalam semua khayal tentangmu. Atau mungkin bidadari tak layak hidup di air keruh?

Sesalku menghimpit, sesaknya mencekik.

Relakan aku terbaring hingga terbujur kaku, sebagaimana kubiarkan kau bersamanya. Biarkan kuhitung sisa nafas ini hingga habis sudah rindu ini termakan usia. Tinggalkan aku dengan semua kenanganmu itu.

Lantas, mengapa kau ajariku apa itu cinta bila tak dapat kau sisakan setitik saja untukku?

Lalu mengapa kau lihatkan bagaimana tertawa dan merasakan bahagia, bila kau masih memilihnya ?

Jangan pernah mencinta jika tak mampu menjaganya. Karena akan tiba masanya disaat aku tak sanggup lagi berpura-pura seakan semua baik saja. Karena sungguh tak mudah bagiku untuk melepaskan, hanya saja kamu terlalu sakit untuk digenggam.

Relakan aku menikmati senyum hangatmu itu, pangeranku. Walau sepenuhnya sadar, itu sudah menjadi milik wanita lain. Biarkan rindu yang mengisahkan kepadamu tentang suaramu yang membuatku tenang dalam gelisahku. Memang mungin tak seharusnya cinta ini berbunyi, karena esok ia dapat menjadi sunyi. Dan aku hanya akan ditertawakan oleh cermin yang menunjukkan rasa takutku.

Maafkan aku yang diam-diam berharap menjadi permaisurimu, pangeranku

Karena sesungguhnya aku bukan senja yang dapat merelakan matahari, atau melepaskanmu pergi. Cinta ini telah memaksaku membenci hujan, karena di setiap rintiknya terselip namamu, nama yang selalu nyaris terucap dalam setiap nafas.

Sampai kapan kesadaran ini harus ku bohongi?

Bahkan tak apa untukku mendengar ceritamu tentang dirinya, karena langitpun kadang melepas beban maka menangislah jangan enggan.

Kadang kau terlihat sekilas saja, tapi bisakah aku membuatmu singgah sedikit lebih lama?
Karena sejauh apapun kamu pergi, masih tersisa setetes cinta yang ku sisihkan untuk kepulanganmu. 

Raih tanganku dan lupakanlah nama itu, melangkahlah bersamaku.

Namun bila memang mengenalmu adalah sebuah kesalahan, sungguh aku tak butuh pembenaran.

Bodohku baru tersadar, bahwa yang selama ini aku cari telah ada di sudut mataku. Hingga tak pernah ku sangka, pertemuan singkat kita berujung pada dilema. Karena jangankan yang berdetik, yang berdetakpun rela kuhabiskan denganmu.

Mengapa sulit untukku melepas namamu dari lantunan doaku?

Biarkan aku ceritakan indahmu pada tiap kesunyian. Karena melupakanmu masih menjadi kebohongan yang aku rencanakan.

Karena kesabaran dan lembutmu selalu mampu luluhkan kerasnya kepalaku.
Karena gelak tawa dan senyummu selalu berhasil hangatkan dinginnya hatiku.



Bukan malam yang tak setia, bukan pula pagi yang meminta. Memang takdir yang memaksa. Lalu jika suatu saat kau pergi meninggalkanku, maka bawalah doaku bersamamu. Karena setidaknya kita masih terikat lewat Tuhan yang mempertemukan kita.

Monday, March 9, 2015

Sebait Pinta

photo by: Tumblr

Sinarnya menusuki rapuhnya kulitku. Mentari meninggi menegaskan keagungannya. Mengeringkan sisa-sisa luka yang tertinggal oleh sang cinta.

Laksana tupai lincah melompat, sepandainya ia akan jatuh juga. Bila saja badai ini tak menerpa, mungkin ku lukiskan seribu warna pelangimu. Rembulanpun merindukan pasangannya, namun terlanjur si bintang jatuh ke pelukan malam.

Andaikan lili itu tak bersemi, mungkin dapat kuarungi birunya samudra. Layaknya lagu iringi sayap-sayap duka, seperti ego ingin rasa lumpuhkan logika. Apa dayaku, kau telah bersamanya.

Bagai tebing acuh berdiri dengan kesombongannya, perlahan terkikis oleh sapaan ombak. Seperti semua mengalir tanpa perlu hati mengizin. Layaknya daun yang tak butuh angin untuk membuat embun jatuh cinta. Rasa ini tumbuh tanpa peduli sekaratnya si penderita.

Namun, maukah engkau menemaniku ?

Duhai kemilau yang menerangi gulita, kejorapun berbincang dalam heningnya malam. Seperti ingin kubisikkan pada bunga bahwa aku rindu segala tentangmu. Meski tak pernah tercipta kata kita karena kau dengan si dia.

Haruskah aku memohon pada bintang jatuh ataukah mengemis pada sang takdir ?

Mengapa ada pertemuan jika hanya menyisakan kegalauan. Bahkan tak pernah sedetikpun terlintas untuk memisahkanmu dari dirinya. Meski aku menangis dalam senyum kemesraan kalian. Tak lagi kemunafikan ini bergelora, aku ingin menjadi dirinya. Lalu sesaat sakit ini mencabikku hingga koma. Melawan cinta yang ada di hati.

Cemburu aku melihat burung-burung berkicau. Seperti menertawakan kisah yang tak berbalas. Terlintas wajahmu sesekali musnahkan upaya ku tahu diri. Seperti ingin aku dirindukan, namun siapalah aku. Bertepuk sebelah tangan seperti dongeng masa kini tak pernah ingin ku bermain. Meski belum tersirat kata rela, namun aku cukup lega. Lalu aku segan mengerti, meski tak pernah dimengerti.

Namun, apa salahku ?

Sapaan di lelahnya hari membawaku kedalam jurang itu. Sesalkah yang membawamu kembali, ataukah hanya bosan menanti? Tak pernah pula berniat saling bertukar rasa.

Dan aku tergoda oleh cintanya.

Bahkan hati tak mampu memilih. Entah amnesia aku dibuatmu, tapi enggan dibutakan. Seperti hujan yang tak lelah walau beribu kali terjatuh. Pasti kan ku temui muara bahagia itu, meski dengan atau tanpamu.

Akankah kau terus ada disisiku ketika kelabu menghampiri ?
Akankah kau terus berpijar ketika redupnya cahaya menghampar?

Walau nasihat silih berganti tak kuasaku menolakmu. Mulutku membisu, sibuk melawan batin. Dan memang mata yang tak pernah berdusta. Memang hati tahu siapa yang ia inginkan, meski mereka berkata jangan.

Pecahkan saja gelasnya, mungkin gaduhnya dapat menyembuhkanku. 
Nyalakan saja apinya, setidaknya asap dapat menyembunyikanku.

Katanya, Hati ada untuk saling memiki atau merelakan untuk pergi.

Cinta ini ada, meski hanya bertukar pandangan.
Rindu ini ada, meski jemari kita belum saling bersentuhan.

Mungkin kamu benar, namun apa peduliku. Biar kau larang kubisikkan bisik-bisik rindu. Salahmu ajariku bagaimana jatuh cinta lagi. Namun sialku lupa cara meninggalkanmu.

Cinta ini ada, meski relung kosong jemarimu dipenuhi oleh dirinya.

Tak rela aku menyeretmu hadir. Karena percuma semua kesempurnaan itu. Sebatas tabu belaka. Sempurna tetapi hanya iba akan paksaan egoku padamu. Meski melewatkanmu selalu terhenti dibatas senyum itu.

Namun, adakah cinta yang salah ?

Denting – denting menyelamatkanku dari lamunan panjang perjuangan cinta kita, yang terlanjur kau bersamanya. Hinakah aku yang hanya ingin sebuah balas? Hingga ku tak pantas dapatkan kesungguhanmu?

Namun, sudah kau pergilah

Sebab, adakah kesempatan untuk diriku menyatakan? Karena ada berjuta alasan mengapa aku harus menyerah. Entah mungkin harus selamanya terpendam.

Kita mungkin tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya, namun punya kesempatan untuk berbagi kisah walau hanya sekejap.

Menghilang sajalah lagi. Padamkan segala yang hadir tanpa permisi.

Teruntuk dinginnya udara pagi, salam hangat untuk cintaku. Biar kelak kudengar cerita tentangmu yang berlutut dihadapan seorang perempuan. Walau entah mengikatkan sepatu anak kita atau anakmu saja.

Dan demi kebahagiaan yang kita idamkan, teruslah terjaga agar tidak keluar dari apa yang kita impikan. Tersenyumlah duhai engkau yang dulu pernah kucinta. Senyum yang terlampau indah untuk mengobati hati yang resah.

Seperti matahari yang selalu terbenam, mau tak mau cinta ini harus perlahan tenggelam. Seperti hujan yang tak mampu menengok indah pelangi, begitulah kita saat ini. Mungkin bukan kamu orangnya, atau memang belum sekarang waktunya.


Melihat orang yang kucinta berbahagia, dan saat itu aku tahu segalanya akan sempurna. 

Maaf atas secarik cinta, dariku yang kandas dan patah hati.

Friday, February 27, 2015

Diujung Asa

photo by: Google

Sepi. Apa yang kurasa ketika melewati lorong tempatmu berbagi tawa. Seperti lengkap keheningan yang menyelimuti ronggaku ini. 

Bagai ombak yang selalu merindukan pantai walau gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Seperti semua rindu ada tempatnya. Yang bagiku, kini untukmu. Bahkan tak perlu bersentuhan untuk kau buat hati ini terjatuh. Sunggingan manis di bibirmu akan selalu menjadi idamanku.

Karena biarpun gemuruh menderu, hati ini akan tetap berseru untuk semua tentangmu. Biarlah angin berhembus, selamanya rasa ini tak akan pupus. Hadirmu telah membuatku bertanya tentang kita. Apakah pertemuan ini hanya kebetulan semata, ataukah permainan sang takdir. Atau hanyalah aku yang terbawa perasaan tak menentu ini.

Sang sabitpun menginginkan matahari, namun ia tahu sebatas mana harus bermimpi. Bahkan saat ku merindukanmu, seakan derai hujan dan gelapnya malam sudah menjadi karibku. Namun, mungkin selamanya juga kau takkan pernah tau, bahwa senyum itu telah mengusik kesendirianku. 

Izinkan aku untuk selalu menikmati manisnya dalam tenangku. Karena aku hanyalah serpihan harapan yang kau hempaskan saat setara dengan tingginya bintang.

Tikam saja aku dengan tawamu itu, setidaknya darah bisa memberi warna di lembaran kosong ceritaku. Bunuh saja aku dengan tatapanmu itu, mungkin sakitnya dapat mengalahkan rindu.  

Namun, kumohon jangan kau biarkan aku mati,  tenggelam dalam air mataku sendiri. Karena sejujurnya aku hanya merindukan sesuatu yang tak pernah aku miliki. 

Seperti bayang senyummu yang mulai memudar seiring langkahmu beranjak pergi. Walau aku sengaja diam, meski selalu kamu yang berkecamuk di pikiranku ini. Walau kau anggap aku ini bisu, namun pandangan ini tak pernah lepas dari bayangmu.

Namun, sudikah engkau menulis kisah ini bersamaku? 

Karena seperti yang semua tahu, kamu adalah apa yang selalu ingin aku tulis dalam ceritaku. Sedangkan aku? Hanyalah segala yang tak pernah engkau baca. Seperti jarum jam yang merindukan dentingan detik, meski hanya sesaat pasti kujanjikan segala yang berarti. Bahkan bila mencintaimu adalah suatu kesalahan, izinkan itu menjadi kesalahan terindahku.

Karena sesungguhnya aku tak pernah mengharapkan penantian yang lain. Seperti senja yang turun ketika kita bertemu di ujung jalan, sesaat senyummu mengakhiri seluruh perih. Gelak tawa itu mampu menghapus awan yang menutupi cerahnya hariku. 

Namun, maukah kau menyertai kebahagiaan itu? 

Karena bersamamu adalah hal yang selalu kudamba. Tak peduli hari ini, esok ataupun nanti, selamanyapun rasa ini akan tetap dan selalu ada, walau kamu selalu tak pernah menganggapku ada. 

Rembulan bersembunyi dibalik gelapnya langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Aku selalu berharap waktu tetap berjalan tanpa harus memaksaku untuk membunuh perasaan ini. 

Karena nyatanya aku ini hanyalah daun yang ingin terus kuat melekat pada pohon, yang pada akhirnya takdirku ada pada musim gugur.

Karena sesungguhnya tak pantas ku menyalahkan pertemuan itu atau berlari dari senyuman sinis sang takdir. Tak ada yang salah atas suatu perasaan, hanya saja mungkin sang waktu belum berpihak pada kita. Tapi, mengapa kita berada pada satu ruang yang sama bila nantinya tak saling terikat cinta.

Lalu apa gunanya sesumbar melawan dunia jika nyatanya berseru tentang hal yang berbeda?

Mungkin memang harus ada yang terluka untuk terlepas dari sesuatu yang bahkan belum terikat. Resah hati ini ingin berteriak, namun apa daya mulutku hanya mampu terisak. 

Bahkan langit hanyalah menunggu matiku, terhimpit oleh mimpi yang membunuh. Tercekik oleh rindu yang berujung sendu. Karena ternyata sang takdir menyadarkan kita untuk melangkah menuju bintang yang berbeda. Ibarat aksara yang bersembunyi dalam lubang harapan, ini hanyalah menunggu untuk diucapkan atau hanya mengendap sebatas asa.

Beritahu aku bila suatu nanti kamu membutuhkan payung ditengah derasnya hujan. 

Karena seberapa jauhnya engkau pergi, bintang takkan pernah meninggalkan langit. Karena seberapa acuhnya kau kepadaku, daun akan selamanya jatuh ke tanah. Karena seberapa besarnya rinduku padamu, mentari takkan pernah bersatu dengan bulan.

Tak apa untukku yang kini hanya ingin tumbuh menjadi doa, yang selalu mengiringi tiap langkahmu. 

Namun saat jejakmu terhapus oleh dinginnya embun pagi, beri tahu anak-anakmu bahwa pernah ada seseorang yang berharap untuk menikmati segelas teh hangat bersamamu, yang selalu merindukan kehadiran mereka untuk melengkapi bahagianya rumah kita.

Namun lagi-lagi, setidaknya kau pernah mengingatku sebagai hati yang pernah diam-diam mencintai.

Terima kasih sudah menjadi debar ketika jantung ini lupa berdetak. Biar burung-burung yang tahu bagaimana sunyinya ronggaku ditinggal tawamu. Biar lembaran kertas menjadi saksi bisu perasaan tak terbalas. Biarkan rindu ini kutitip pada mawar-mawar sendu. Biar suatu saat nanti waktu berputar menilik rindu, termenung menyiasati cinta dalam sajak tentangmu.