Friday, February 27, 2015

Diujung Asa

photo by: Google

Sepi. Apa yang kurasa ketika melewati lorong tempatmu berbagi tawa. Seperti lengkap keheningan yang menyelimuti ronggaku ini. 

Bagai ombak yang selalu merindukan pantai walau gelombangnya tak sepenuhnya sampai. Seperti semua rindu ada tempatnya. Yang bagiku, kini untukmu. Bahkan tak perlu bersentuhan untuk kau buat hati ini terjatuh. Sunggingan manis di bibirmu akan selalu menjadi idamanku.

Karena biarpun gemuruh menderu, hati ini akan tetap berseru untuk semua tentangmu. Biarlah angin berhembus, selamanya rasa ini tak akan pupus. Hadirmu telah membuatku bertanya tentang kita. Apakah pertemuan ini hanya kebetulan semata, ataukah permainan sang takdir. Atau hanyalah aku yang terbawa perasaan tak menentu ini.

Sang sabitpun menginginkan matahari, namun ia tahu sebatas mana harus bermimpi. Bahkan saat ku merindukanmu, seakan derai hujan dan gelapnya malam sudah menjadi karibku. Namun, mungkin selamanya juga kau takkan pernah tau, bahwa senyum itu telah mengusik kesendirianku. 

Izinkan aku untuk selalu menikmati manisnya dalam tenangku. Karena aku hanyalah serpihan harapan yang kau hempaskan saat setara dengan tingginya bintang.

Tikam saja aku dengan tawamu itu, setidaknya darah bisa memberi warna di lembaran kosong ceritaku. Bunuh saja aku dengan tatapanmu itu, mungkin sakitnya dapat mengalahkan rindu.  

Namun, kumohon jangan kau biarkan aku mati,  tenggelam dalam air mataku sendiri. Karena sejujurnya aku hanya merindukan sesuatu yang tak pernah aku miliki. 

Seperti bayang senyummu yang mulai memudar seiring langkahmu beranjak pergi. Walau aku sengaja diam, meski selalu kamu yang berkecamuk di pikiranku ini. Walau kau anggap aku ini bisu, namun pandangan ini tak pernah lepas dari bayangmu.

Namun, sudikah engkau menulis kisah ini bersamaku? 

Karena seperti yang semua tahu, kamu adalah apa yang selalu ingin aku tulis dalam ceritaku. Sedangkan aku? Hanyalah segala yang tak pernah engkau baca. Seperti jarum jam yang merindukan dentingan detik, meski hanya sesaat pasti kujanjikan segala yang berarti. Bahkan bila mencintaimu adalah suatu kesalahan, izinkan itu menjadi kesalahan terindahku.

Karena sesungguhnya aku tak pernah mengharapkan penantian yang lain. Seperti senja yang turun ketika kita bertemu di ujung jalan, sesaat senyummu mengakhiri seluruh perih. Gelak tawa itu mampu menghapus awan yang menutupi cerahnya hariku. 

Namun, maukah kau menyertai kebahagiaan itu? 

Karena bersamamu adalah hal yang selalu kudamba. Tak peduli hari ini, esok ataupun nanti, selamanyapun rasa ini akan tetap dan selalu ada, walau kamu selalu tak pernah menganggapku ada. 

Rembulan bersembunyi dibalik gelapnya langit malam, begitupun harapan yang perlahan tenggelam. Aku selalu berharap waktu tetap berjalan tanpa harus memaksaku untuk membunuh perasaan ini. 

Karena nyatanya aku ini hanyalah daun yang ingin terus kuat melekat pada pohon, yang pada akhirnya takdirku ada pada musim gugur.

Karena sesungguhnya tak pantas ku menyalahkan pertemuan itu atau berlari dari senyuman sinis sang takdir. Tak ada yang salah atas suatu perasaan, hanya saja mungkin sang waktu belum berpihak pada kita. Tapi, mengapa kita berada pada satu ruang yang sama bila nantinya tak saling terikat cinta.

Lalu apa gunanya sesumbar melawan dunia jika nyatanya berseru tentang hal yang berbeda?

Mungkin memang harus ada yang terluka untuk terlepas dari sesuatu yang bahkan belum terikat. Resah hati ini ingin berteriak, namun apa daya mulutku hanya mampu terisak. 

Bahkan langit hanyalah menunggu matiku, terhimpit oleh mimpi yang membunuh. Tercekik oleh rindu yang berujung sendu. Karena ternyata sang takdir menyadarkan kita untuk melangkah menuju bintang yang berbeda. Ibarat aksara yang bersembunyi dalam lubang harapan, ini hanyalah menunggu untuk diucapkan atau hanya mengendap sebatas asa.

Beritahu aku bila suatu nanti kamu membutuhkan payung ditengah derasnya hujan. 

Karena seberapa jauhnya engkau pergi, bintang takkan pernah meninggalkan langit. Karena seberapa acuhnya kau kepadaku, daun akan selamanya jatuh ke tanah. Karena seberapa besarnya rinduku padamu, mentari takkan pernah bersatu dengan bulan.

Tak apa untukku yang kini hanya ingin tumbuh menjadi doa, yang selalu mengiringi tiap langkahmu. 

Namun saat jejakmu terhapus oleh dinginnya embun pagi, beri tahu anak-anakmu bahwa pernah ada seseorang yang berharap untuk menikmati segelas teh hangat bersamamu, yang selalu merindukan kehadiran mereka untuk melengkapi bahagianya rumah kita.

Namun lagi-lagi, setidaknya kau pernah mengingatku sebagai hati yang pernah diam-diam mencintai.

Terima kasih sudah menjadi debar ketika jantung ini lupa berdetak. Biar burung-burung yang tahu bagaimana sunyinya ronggaku ditinggal tawamu. Biar lembaran kertas menjadi saksi bisu perasaan tak terbalas. Biarkan rindu ini kutitip pada mawar-mawar sendu. Biar suatu saat nanti waktu berputar menilik rindu, termenung menyiasati cinta dalam sajak tentangmu.