Sunday, April 26, 2015

Cinta Sendiri

photo by: Google


Langit seperti sedang bingung, maka cuaca tak menentu. Hari ini tak secerah kemarin. Terlihat malu, mentari bersinar ditutupi awan namun tetap turun rinai hujan.

Seperti aku yang rindu dengan lembut matamu, yang padu dengan hangat senyum itu. Namun mengapa semua kini menjadi terlalu dingin untukku?

Mungkin jodohku sedang berada dalam cinta yang salah, atau mungkin kini aku yang terjebak? Ajari aku cuek seperti yang kau lakukan setiap hari. Dan mungkin suatu hari nanti, namamu tak lagi membuatku tersenyum.

Karena pada akhirnya kita semua akan jatuh cinta kepada orang yang tak terduga-duga

Bukannya aku meninggalkanmu, aku hanya berusaha menjaga diriku dari rasa sakit yang aku tahu persis bagaimana perihnya. Karena ada kalanya perlu kuterima bahwa ada orang yang diciptakan untuk ada didalam hati kita, bukan hidup kita.

Tetapi aku jatuh cinta dengan caramu menyentuhku tanpa tangan itu

Tak perlu bertegur sapa, untuk tahu kabarmu baik saja sudah cukup untukku. Bukan tentang fisik atau materi, hanya kenyamanan hati. 

Karena terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan mempersatukan. Kau ciptakan rasa ini sekejap, namun sebelum rasa ini menguat kaupun lenyap dalam gelap.

Tapi, apakah kau tahu rasanya mencintai namun bertahan untuk tidak memiliki? Bertahan untuk tidak mengungkapkan? Percayalah, ini lebih buruk dari sekedar patah hati.

Kopi di malam ini terlalu manis, seperti rasa yang seharusnya ditinggalkan namun sulit dilepaskan

Sesaat semuanya tak lagi sama saat aku menatap mata itu. Ini semacam tidak memiliki, namun takut kehilangan. Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku tak mampu merengkuhmu dalam genggamanku. Jangankan jemari, sajakku saja sudah tak mampu lagi menyentuhmu.

Katanya, sebuah cinta yang nyata butuh penantian

Tak semua orang dapat menarik habis nafasku, bahkan kamu tak perlu mencobanya. Katanya, bila kau inginkan pelangi maka kamu harus mampu menerima hujan. Tapi seseorang yang peduli dengan perasaannya akan memilih maju atau menunggu, ia tidak pernah diam saja. Mungkin lebih baik kulepaskan daripada memaksakan.

Mengapa tak kau ijinkan aku mencintaimu ?

Biar hujan membasahi pedihnya kemarin. Bukannya aku tak ingin jatuh cinta, aku hanya takut salah lagi. Jadikan hati ini rumah, tempatmu pulang. Bukan sebagai tempat singgah saat berlibur dari kisah lain.

Bukankah semua memang akan selalu menjadi salahku?

Aku tahu aku tak memilkimu, atau mungkin selamanya takkan mungkin. Hingga aku tak memiliki hak untuk cemburu melihat kau bersamanya.

Aku tahu kau tak memilikiku, dan aku tak seharusnya meminta. Aku tak seharusnya sendu ketika rindu dengan namamu.

Aku tahu aku tak punya hak untuk merasa, namun bukan berarti aku tak mencintaimu.

Katanya, siapa yang berani jatuh cinta harus siap bila cintanya benar-benar terjatuh. Namun bila memang cinta adalah bagaimana aku bertahan, maka akan kulepaskan jika kuatku tak lagi dihargai. 

Beberapa mimpi ternyata tidak dimaksudkan untuk menjadi kenyataan, aku belajar darimu

Pergilah hingga bayangmu lenyap ditelan pekatnya malam. Mungkin kamu memang bukan seseorang yang pantas untuk ku perjuangkan.

Karena selain mencintai dan mendoakan kebahagiaanmu, aku bisa apa? Memaksamu untuk mencintaiku juga? Sayang, aku tidak sejahat itu.

Jika memang akhirnya aku tidak bersama dengan orang yang sering kusebut namanya dalam doaku, setidaknya semoga aku dibersamakan dengan orang yang sering menyebutku didalam doanya.

Teruslah seperti itu,

Meski aku menulis karena kamu tercipta, namun hidup terus berjalan meski dengan atau tanpamu. Kamu memang menyukaiku, salahku yang mencintaimu. Maaf, bila aku masih tersenyum ketika mengingat caramu menggodaku. 

Bila memang bukan kamu, mungkin sekarang giliranku untuk menemukan seseorang yang menghargaiku.

Kelak kau akan mengerti,

Bahwa aku hanyalah perempuan yang sedang jatuh hatinya, bukan penjahat yang ingin mencuri hatimu.

Dan suatu hari ia pasti akan lelah. Lelah dengan semua balasan singkatmu, kepalsuanmu, dan segala kata indahmu. Dan kamu tak akan bisa menjadi selamanya bodoh untuk berpikir bahwa ia semudah itu. Bahwa ia pernah memberimu kesempatan. Tapi apa yang kau lakukan? justru mematahkan sayapnya hingga ia tak lagi mampu mencari persinggahan lain.

Semesta mengadu, awan jatuh akan rindu. Meluapkan butir cinta yang hinggap dipelupuk anganku. 

Biarlah aku saja yang merindu, ini berat. Kamu tak akan kuat. Rasa ingin berkata tak sanggup lagi. Namun mulut tak mampu berucap, terlalu menyakitkan untuk menyakiti.

Relakan daripada harus berjuang sendirian

Kamu terlalu lama membuatku mati rasa, sampai aku lupa mencintai atau membenci itu hanya untuk sekedar bersama ironi. Tapi aku tak menyesal pernah menunggumu, karena setidaknya aku belajar caranya berjuang. Perlahan, kamu adalah bagian dari perjalanan panjangku yang mungkin tak akan lagi kurindukan.

Karena suatu saat nanti akan ada saat dimana aku benar-benar lelah, hingga aku benar-benar tak lagi merindukan sapaanmu di sepinya malamku. Tak lagi berharap sunggingan manis senyummu. Tak lagi memintanya, bahkan mungkin tak mengingatmu lagi.

Ikhlaskan daripada menyakitkan

Ternyata mungkin selama ini aku hanyalah cinta sendiri. Tapi aku enggan menangisi yang telah lalu, agar bahagia bisa bertamu. Terkadang kita memang harus mengikhlaskan, bukan karena tak sayang, namun ada sesuatu yang tak dapat dipaksakan. Terima kasih telah mengajariku tentang kenyataan.

Dan aku memilih untuk mencintaimu dalam diamku

Ijinkan aku berbahagia sejenak untuk beristirahat dari cinta yang salah. Karena tuhanku berkata, bila aku mampu bersabar, maka Ia mampu memberi lebih dari apa yang kuminta. Walau akhirnya aku menyerah, setidaknya aku pernah berjuang untuk tidak kalah oleh keadaan.

Aku hanya ingin bersamamu. Sesederhana, dan serumit itu

Mungkin bila kesabaran tak cukup membangunkan, aku rela bila kehilangan harus menyadarkan. Kamu memang sudah lama berhenti mencintaiku, bodohnya aku yang menyayangimu tiada akhir.

Kuharap kamu melihat rindu itu bila nanti hujan turun. Setidaknya, kupikir itu cukup memberitahumu bahwa ada aku yang merindu.

Bila nanti surya tenggelam dan luna terpancar, disitulah aku mengenangmu. Lewat doa, kusampaikan rindu ini padamu. Segeralah pulang, aku menunggumu.


Friday, April 10, 2015

Menilik Rindu

Photo by: Google

Mentari usai bersinar namun senja belum menampakkan kilaunya. Ternyata abu yang menutupi birunya sang langit. Mendungnya sama, seperti hariku. Perlahan rintik hujan turun membasahi keringnya dedaunan, sekejap membawa memoriku kembali melayang.

Lalu, haruskah aku menari disela ramainya hujan atau terdiam memandanginya ?

Ternyata memang lelah mengharapkan sesuatu yang hampir mustahil. Lagi-lagi aku yang disalahkan, padahal semuanya nyaris sirna. Jangan tanyakan aku tentang cinta, jelas lupa bagaimana rasanya. Tak perlu juga ku perjelas, apa juga pedulimu.

Duhai sang pemilik cinta dan semesta, malangnya diri mencintainya yang sibuk mencintai si dia. Mengapa aku bahkan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin kudapat.

Mana mungkin kau minta sebait puisi dariku, sedangkan kisah ini hanyalah segala tentangmu. Jangankan hanya sebaris kata, seribu halamanpun kan kuciptakan untuk kita.

Namun sayang, aku bukanlah pujangga yang mampu merangkai untaian kata manis. Namun sayang, aku bukanlah penulis yang mampu ciptakan ratusan kisah bahagia dalam semalam. Aku hanyalah perempuan dengan berjuta cerita yang menunggumu untuk melengkapinya, bersamaku.

Mengapa lagi-lagi aku terjatuh kepada hati yang salah ?

Bahkan rembulan pun tak berizinkan menengok si bintang. Bila saja hati ini tak memilihmu, mungkin mudah untukku mengobati luka yang terlanjur mendalam.

Mengapa harus kau biarkan aku tahu kau mencintainya?

Meski aku hanyalah selalu yang kedua. Aku, kamu dan logika kita mungkin memang berbeda.

Aku benci caramu memanggil namaku, wanita mana yang mampu mengacuhkan suara itu. Aku benci caramu bercerita, wanita mana yang tak ingin selalu mendengar. Aku benci caramu menatapku, wanita mana yang tak tersipu. Aku benci caramu tersenyum, bahkan mentaripun cemburu dengan hangatnya senyummu.  Aku benci caramu membuatku tertawa, selalu membuatku rindu.

Hanya satu tanyaku, sampai kapan harus kurajut cerita ini sendirian ?

Enggankah kau menorehkan sedikit pena di lembaran kisahku? Karena suatu saat nanti akan tiba masanya ketika aku lelah menulis kisah ini sendirian.

Bila saja kamu belum bersamanya. Ah, namun belum tentu juga kau akan memilihku. Ingin kubunuh pacarmu saat dia peluk tubuh indahmu didepan mataku. Aku cemburu. Karena setiap tawa yang kuhabiskan bersamamu nantinya akan berujung sendu

Dan sang takdir pun tersenyum sinis melihat hatiku habis teriris.

Duhai cinta, mengapa lagi-lagi aku yang tersakiti?

Kemarilah dan raih tanganku, kan kujanjikan kau bahagia yang telah hilang dari dirinya. Kabari aku bila esok kau tak bersamanya. Kirimi aku surat dan ceritakan keluh kesahmu, maka akan ku lukiskan sepinya harimu dengan warnaku. Melangkahlah bersamaku

Tak sudikah engkau singgah dibenakku sejenak?

Duhai kasih, maaf bila ku telah jatuh cinta.

Lalu, siapa yang rela dimadu. Memang semua kisah harus berakhir, entah bahagia atau tak sempurna.

Duhai kasih, lalu kapan giliranku membahagiakanmu? 
Relakan aku atau tinggalkan dia.

Apakah waktu mampu menghapus serpihan-serpihan rindu ?

Karena aku bukanlah Tuhan, yang selalu mampu memaafkan. Karena aku bukanlah malaikat, yang selalu bersabar. Karena aku bukanlah mentari, yang tak lelah menunggu sang bulan setiap hari. Karena aku bukanlah hujan, yang tetap setia walau berkali-kali terjatuh

Seperti dedaunan yang terbang tertiup angin, seperti itulah serpihan hati ini kau tinggalkan. 

Lalu, suatu hari nanti ingatkan padaku tentang rasanya mendapatkan cinta yang selama ini kau idamkan. Karena bila saja kau tahu bagaimana bintang tak lelah bersinar meski sering ditutupi awan, begitulah ku mencintaimu.


Monday, April 6, 2015

Selintas Cinta

Photo by: Google

Gelapnya malam gantikan birunya sang langit, namun masih terlihat gemerlapnya gemintang di sudut awan itu. Tak habis rasanya ribuan kata untuk senyummu itu, duhai si pencipta rindu. Ratusan hari sudah tak jumpa, namun tak sedetikpun terlupa. Meski ribuan jam ku terlarut dalam kesibukkan demi tak lagi ingat kamu, sekejap kau datang lagi mengusik tenangnya sepiku.

Apakah gelap ini tak nyata, atau hanya aku yang tak terbiasa tanpa cahaya ?

Mungkin memang ada yang harus terluka untuk lepas dari sesuatu yang bahkan tak mengikat. Seakan mulutku terbungkam mendengar gelak tawamu lagi, matakupun bersinar dengan senyum nan menawan itu, dan hatiku terjatuh lagi dalam lembutnya tutur katamu. Ya, kau memang terlihat asing di mataku, tetapi tidak untuk hatiku.

Tapi, mengapa bulan dan bintang selalu bersama sedangkan kau tak pernah hadir dalam setiap gelapku?  

Ingin rasa berteriak, mengungkap semua rindu yang selama ini menunggu. Tak sabar rasaku bercerita betapa bahagianya aku melihat kamu lagi, wahai sang penakluk hati.

Katakan kemana aku harus menemui Tuhanmu, agar Ia tahu cinta kita harus bersatu.

Dan semenjak rasa itu ada, semuanya tak lagi sama. Jangan salahkan aku berharap menjadi objek favoritmu, pangeranku. Meski ada hasrat ingin menyapamu, namun aku hanya mampu menyimpan kata. Meski rindu sekali hati ini mendengarmu bercerita, namun aku sadar sebatas mana harus meminta. Dan aku hanyalah bentuk kesepian yang engkau ciptakan.

Sehening apapun aku dilihatmu, selalu ada saja suara. Ialah detak rindu yang selalu setia menunggu.

Walau berat untukku bersembunyi, meski dari cinta yang kau tumbuhkan sendiri benihnya. Sekarat aku dalam sakit yang kau berikan. Dan aku berharap kita menjadi pasangan, bukan lagi sebatas teman atau kawan.

Seperti ceritaku menjadi nyata dalam satu malam

Bila saja kau tahu seberapa besar rindu ini mengurungku dalam kesedihan yang panjang. Bahkan aku tak dapat lagi membedakan air mata ini, karena bahagia dengan perjumpaan kita ataukah sedih karena kamu masih menjadi rahasiaku.

Jika hujan rela selamanya terjatuh ke bumi, mengapa tak kau sisakan satu cinta untukku? Karena tak ada lagi yang dapat membuatku hidup dalam semua khayal tentangmu. Atau mungkin bidadari tak layak hidup di air keruh?

Sesalku menghimpit, sesaknya mencekik.

Relakan aku terbaring hingga terbujur kaku, sebagaimana kubiarkan kau bersamanya. Biarkan kuhitung sisa nafas ini hingga habis sudah rindu ini termakan usia. Tinggalkan aku dengan semua kenanganmu itu.

Lantas, mengapa kau ajariku apa itu cinta bila tak dapat kau sisakan setitik saja untukku?

Lalu mengapa kau lihatkan bagaimana tertawa dan merasakan bahagia, bila kau masih memilihnya ?

Jangan pernah mencinta jika tak mampu menjaganya. Karena akan tiba masanya disaat aku tak sanggup lagi berpura-pura seakan semua baik saja. Karena sungguh tak mudah bagiku untuk melepaskan, hanya saja kamu terlalu sakit untuk digenggam.

Relakan aku menikmati senyum hangatmu itu, pangeranku. Walau sepenuhnya sadar, itu sudah menjadi milik wanita lain. Biarkan rindu yang mengisahkan kepadamu tentang suaramu yang membuatku tenang dalam gelisahku. Memang mungin tak seharusnya cinta ini berbunyi, karena esok ia dapat menjadi sunyi. Dan aku hanya akan ditertawakan oleh cermin yang menunjukkan rasa takutku.

Maafkan aku yang diam-diam berharap menjadi permaisurimu, pangeranku

Karena sesungguhnya aku bukan senja yang dapat merelakan matahari, atau melepaskanmu pergi. Cinta ini telah memaksaku membenci hujan, karena di setiap rintiknya terselip namamu, nama yang selalu nyaris terucap dalam setiap nafas.

Sampai kapan kesadaran ini harus ku bohongi?

Bahkan tak apa untukku mendengar ceritamu tentang dirinya, karena langitpun kadang melepas beban maka menangislah jangan enggan.

Kadang kau terlihat sekilas saja, tapi bisakah aku membuatmu singgah sedikit lebih lama?
Karena sejauh apapun kamu pergi, masih tersisa setetes cinta yang ku sisihkan untuk kepulanganmu. 

Raih tanganku dan lupakanlah nama itu, melangkahlah bersamaku.

Namun bila memang mengenalmu adalah sebuah kesalahan, sungguh aku tak butuh pembenaran.

Bodohku baru tersadar, bahwa yang selama ini aku cari telah ada di sudut mataku. Hingga tak pernah ku sangka, pertemuan singkat kita berujung pada dilema. Karena jangankan yang berdetik, yang berdetakpun rela kuhabiskan denganmu.

Mengapa sulit untukku melepas namamu dari lantunan doaku?

Biarkan aku ceritakan indahmu pada tiap kesunyian. Karena melupakanmu masih menjadi kebohongan yang aku rencanakan.

Karena kesabaran dan lembutmu selalu mampu luluhkan kerasnya kepalaku.
Karena gelak tawa dan senyummu selalu berhasil hangatkan dinginnya hatiku.



Bukan malam yang tak setia, bukan pula pagi yang meminta. Memang takdir yang memaksa. Lalu jika suatu saat kau pergi meninggalkanku, maka bawalah doaku bersamamu. Karena setidaknya kita masih terikat lewat Tuhan yang mempertemukan kita.