Monday, January 19, 2015

Layang-Layang

photo by: Pinterest



Tiba-tiba ada lagi. Rasa itu, kembali lagi. 
Tiba-tiba engkau ada. Kemudian, engkau hadir.

Seperti sudah lama tak melihatnya. Namun, sebenarnya belum genap dua belas bulan kita tak jumpa. Senyummu, matamu, tawamu, semuanya masih sama. Kecuali hatimu, tak lagi sama. Bukan lagi untukku. 

Lagi-lagi seringkali ku ucap, bahkan untuk tahu kabarmu baik saja sudah lebih dari cukup untukku. Seperti rasanya ingin kubertanya padamu, duhai pemberi harapan. Sudah berapa banyak hati yang berhasil kamu singgahi lagi? Tapi padahal aku juga tahu jawabannya, banyak. Jujur, masih ada samar-samar perih ini melihat kau dekat dengan mereka yang-ku-kenal. Namun, apa dayaku yang bahkan tak lagi terlihat.

Entah, satu yang tak pernah berubah dariku. Aku selalu tersenyum melihat namamu. Sedihnya, senyummu hadir ketika melihat namanya. Perih. Kamu akan selamanya menjadi "dia" untukku. Karena tak ada lagi aku dan kamu, bukan?

Hari demi hari kujumpa dirinya. Kulihat dia tersenyum beberapa saat. Ladang mata ini malu untuk memandang wajahnya, tapi hati ini takkan mampu berdusta. Perasaan yang terus tumbuh ini memang untuk dirinya seorang. Namun, entah mengapa hati ini yang selalu jujur. Hanya bibir ini yang selalu sulit untuk mengungkapkan isi hati. Maafkan aku yang tak tahu caranya mencintaimu, entah sampai kapan.

Bukan aku tak mau menyatakan apa yang kurasa, tapi aku takut. Takut akan jawaban darimu yang mungkin tidak seperti apa yang kuharapkan. Aku takut jika kita menjadi jauh karena ego dalam hatiku. Walau kini kita, maksudku aku-kamu tak lagi seakrab dulu, aku tak ingin memperparah keadaan ini.

Namun, seiring dengan langkah ini dan atas segala hal yang terjadi, perlahan kita sadar bahwa terkadang waktu mengikis seseorang menjadi sesuatu yang lain. Aku berharap, dunia ada tanpa waktu yang memaksaku untuk berhenti mencintaimu atau menyeretku untuk melupakanmu.

Karena saat bersamamu, aku seperti layang-layang. Digenggamanmu, aku dapat terbang kemanapun kau ingin melihatku. Awalnya, aku tetap berada diatas, tak peduli seberapa kencang angin menyapaku. Aku melayang dan tersenyum melihat kearah bawah. Aku tak pernah takut untuk terbang sepuasku. Karena aku tahu, ketikapun aku jatuh kelak, ada kamu yang menangkapku.

Tapi, semakin lama mengenalmu bukan layang-layang tinggi lagi aku terlihatnya. Aku menjadi layang-layang yang entah tak berarah tujuanku. Kamu, sang pemegang kendali selalu menarik-ulur tali yang menjeratku. Yang pada akhirnya, aku lelah lalu terbang tak berarah. Taliku terlepas terhempas badai. Lalu, tak selang berapa lama aku terjatuh karena sayapku robek terkena hempasan angin yang tak lagi sanggup aku terjang.

Tak teraba, malam semakin larut dan semua angan tentangmu semakin berkecamuk. Indah. Kata Indah dapat terdefinisi dengan jelas, namun sekarang mungkin tidak denganmu didalamnya. Indah akan nyata bila kau hadir dalam hidupku, hari-hariku, juga perjalanan hidup yang kujalani. Meski mungkin itu terdengar tak mungkin.

Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya, tapi kita mungkin punya kesempatan untuk berbagi kisah walau hanya sekejap. Terima kasih atas segelintir tawa dan air mata yang telah tertulis dalam sebaris kisah hidup kita.

Bukannya aku ingin menyalahkan takdir, atau mengulang lagi waktu, karena ku tahu selamanya ku takkan pernah mampu. Tapi satu, aku rindu. Maafkan aku bila diam-diam sering mencuri temu untuk melihat senyummu. Aku sepenuhnya sadar, tak ada yang mampu dan seharusnya kulakukan kecuali mendoakan selalu dirimu dalam kalbu. 

Sebab, kata ibuku Cinta yang dibungkus dengan kepedulian tak pernah punya cukup alasan untuk mengemis segenap balasan. Ia mendoakan. Kini cukuplah hanya dengan doa menguatkan daku. Karena, jikapun kau tak lagi mendengar suaraku dari ujung telpon genggammu, bukan berarti aku tak mengucapmu dalam doaku. Karena kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Karena setidaknya aku tahu, walau aku tak lagi denganmu-ataupun sebaliknya, ada yang selalu menjaga kita. Semoga dan selalu.

Saturday, January 10, 2015

Tentang Bintang

photo by: Tumblr


Tersenyum aku tak sengaja melihat sosok itu lagi. Sudah lama ku tak menemukannya, sengaja mencari namun semakin berlari, tak disangka kini ia dihadapanku, Si pecinta bintang. 

Senang rasanya bertemu dia lagi, senang sekali, seperti ingin kusapa dan bertanya apa kabarnya, namun apalah daya bahkan kamu saja tak menatapku duhai si penyuka langit. Sesaat semua yang telah kusimpan rapi ini terbuka tiba-tiba tanpa permisi, tanpa peduli lagi seberapa sekarat si penderita. 

Jujur aku senang, sangat senang, sampai-sampai mereka semua bertanya apakah ku menyukaimu. Jelas, aku sangat menyukaimu wahai sang penggapai bintang, jawabku dalam hati. Semakin kukatakan aku tak menyukaimu atau aku biasa saja, maka semakin jatuh cinta ku dibuat senyumanmu itu. Maafkan aku yang telah diam-diam mendambakan senyumanmu itu, duhai pemilik senyuman manis. Aku teramat suka.

Bukannya aku tak berani ataupun tak ingin mengungkapkan isi hati ini, tapi kurasa mataku tak pernah mampu berbohong. Jangankan berkata didepanmu, bahkan bertatapan saja aku tak sanggup, sekalipun tak sengaja. Kau duduk disampingku saja aku langsung bisu mematung, bahkan aku sempat mendapatimu menatapku sesekali, ingin rasanya kubalas tatapan indah itu hingga mungkin kita saling menatap, namun penggapai bintang, aku tak mampu.

Lagi-lagi dengan hanya mengetahui kamu sehat dan senyuman itu masih ada, sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula, aku tak ingin kamu merasa tidak nyaman berada didekatku. Biarlah semua kusimpan hingga tak seorangpun tahu.

Kau tahu? aku juga mengagumi langit, sungguh. Bahkan "bintang" adalah nama kecilku, mungkin itulah mengapa aku sangat menyukai benda indah itu. Seandainya saja kamu tahu, mungkin kita bisa saling bercerita tentang langit, bertukar gambar indah sang bintang, atau mungkin membicarakan pengagumnya, andai. 

Katamu, kau suka bintang karena ia setia dengan langit walaupun berkali-kali dibuat jatuh. Tapi menurutku kamu harus belajar dari hujan, karena ia setia dengan bumi walau jelas ia tahu bagaimana rasanya berkali-kali terjatuh. 

Katamu juga hujan itu teduh dan meneduhkan. Namun bagiku, hujan lebih dari hanya sekedar meneduhkan. Bagiku, hujan adalah pembangkit rindu yang paling syahdu, yang dapat menggoda mereka yang penuh kenangan tanpa perlu lama waktu. 

Tapi bukan hanya bintang dan hujan yang jatuh, tapi juga aku dibuatmu. Aku jatuh cinta dengan kata-kata indahmu itu, duhai si penggapai bintang.

Jika kamu adalah si pengagum bintang, maka ijinkan aku menjadi si pecinta semesta. Ijinkan aku untuk walau tak langsung mencintaimu, tapi juga merengkuhmu dalam genggamanku. Ijinkan aku juga untuk sama-sama menjaga bintang-bintang itu bersamamu agar malamku dan malammu, yang kuharap menjadi malam kita, sama-sama terang dihiasi lembut sinarnya. 

Juga tak pernah lupa kuberucap agar bintang itu selalu ada, agar kamu selalu dapat melihat sinar mataku yang kini tak lagi sendu, karena aku tahu kau benci mata itu, yang katamu kamu takut terjatuh didalamnya. 

Kau tahu apa yang juga indah selain memandangi bintang di malam hari? Menikmati keelokan jingga sang senja tak kalah romantisnya bagi si pecinta semesta.

Katamu senja adalah sebuah pembuktian, bahwa ada hal yang begitu indah di balik kisah tidak dipertemukannya siang dan malam. Kataku, siang dan malam, mereka bukannya tak bertemu, mereka berbaur. 

Duhai sang penggapai bintang, aku tahu kau tak pernah benar-benar mengamati senja. Maka, kini izinkan aku membawamu. Siang dan malam bertemu dan saling menjaga, itulah mengapa dinamakan senja. Senja memang sekali, namun bukankah sekali itu cukup bila kita menikmatinya? Ya, kita pasti kehilangan senja, namun mendapatkan indahnya langit malam. 

Si pecinta semesta tak pernah percaya bahwa bintang akan dan sering terjatuh. Namun, bila kamu si pecinta bintang percaya bahwa bintang itu jatuh, maka ijinkan aku menangkap bintang itu. Karena bagiku, kamu adalah bintangnya. Bagiku si pecinta semesta, kamu adalah si bintang jatuh. Tak akan pernah kugenggam, tapi selalu kuharapkan. Karena aku tak pernah percaya bahwa bintang akan jatuh dengan sendirinya. Maka teruslah menggapainya, duhai si pecinta bintang. Teruslah berharap, dan gapai satu bintangmu yang paling terang diantara jutaan bintang dihamparan gemerlapnya langit penuh harapan.

Biarlah semua seperti ini. Biarlah semua mengalir seperti ini. Keadaan ini tercipta bukan karena aku tak ingin memulai, hanya ku tak ingin merusak yang sudah ada. Lagipula, tak semua cinta harus diungkapkan, kan?

Senyuman itu, suara itu, mata itu. Ijinkan aku menyimpan semua yang telah kupotret ini kedalam album terindahku sendiri, yang suatu saat nanti akan kubuka atau terbuka dengan sendirinya. 

Aku tetap menunggu, dan akan selalu. 

Meski terkadang, menunggu tak se-incipun menyeret kita ke titik rindu yang mungkin bersilangan dengan temu. Namun, lagi-lagi adakah yang lebih syahdu dari dua jiwa yang saling menunggu? Yang tak saling sapa, namun diam-diam mengucap nama dalam doa? 

Lagipula, mengapa meminta kepada bintang-bintang, bila kita bisa meminta kepada penciptanya? Sebab, katamu ada spasi yang terisi diantara doa dan kenyataan yang tidak terbaca, yaitu rencana Tuhan yang lebih indah. 

Sebab kupercaya, Tuhan tidak akan memisahkan sesuatu yang baik kecuali digantikan dengan yang lebih baik. Karena aku akan bersabar dalam diamku, karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Senja itu benar, kehilangan adalah cara Tuhan mempertemukan kita dengan kebaikan. 

Sebab, tak ada yang lebih baik dari dua orang yang bertemu karena saling menemukan dan sama-sama berhenti karena telah selesai mencari. Hingga tak akan ada yang pernah pergi, sebab tahu sulitnya mencari. Maka, semoga sibukmu dan sibukku adalah sibuk yang baik, yang mendekatkan rezeki baik, yang mampu membuat Tuhan percaya kita berjuang dijalan yang baik.

Duhai sang pecinta bintang, izinkan kumengucap namamu dalam doaku. Karena doa adalah cara dan usahaku untuk mendekatkanmu tanpa harus menjauh dari Tuhanku. Wahai sang pemilik bintang dan seisi semesta, izinkan bintang itu untuk selalu menerangi gelapnya malamku, serta izinkan aku juga mengulang doa-doaku. Karena mengulang doa-doa itu seperti kayuhan sepeda, suatu saat akan membawaku ke arah yang kutuju, semoga dan selalu.